Eropa Diskriminatif Soal CPO, Ini Langkah yang Diambil RI

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
15 March 2019 15:26
Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran.
Foto: Menteri Perdagangan RI, Enggartiasto Lukita (CNBC Indonesia/Samuel Pablo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah frontal dalam menghadapi diskriminasi yang dilakukan pemerintah Uni Eropa terhadap komoditas sawit dan turunannya.

Hal tersebut disampaikan, merespons sikap Komisi Eropa pada Rabu (13/3) kemarin waktu setempat yang memutuskan untuk menghapus secara bertahap penggunaan bahan bakar nabati/BBN (biofuel) berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga 2030.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, saat ini pemerintah sedang mempelajari keputusan Komisi Eropa ini, apakah sudah dapat digugat di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO.

"Selama ini kita tahu mereka diskriminatif, tapi kita belum bisa membawanya ke WTO karena belum ada langkah konkret. Komisi Eropa itu baru satu tahap, dia masih akan naik ke Parlemen Eropa, lalu naik lagi ke Dewan Eropa. Jadi mereka masih butuh waktu dia bulan untuk ke Parlemen Eropa," ujar Darmin di kantornya, Jumat (15/3/2019).

"Tetapi ini tentu sudah peringatan serius untuk kita pertimbangkan. Kita sudah tidak punya pilihan sekarang. Kita sudah mencoba berunding, menjelaskan, melobi tapi kelihatannya mereka jalan terus," tambahnya.

Perwakilan pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Kolombia dalam kerangka Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) akan bertolak ke Benua Biru pada awal pekan kedua bulan April sebelum Parlemen Eropa melakukan pemungutan suara.

Dalam rancangan terbaru regulasi Renewable Energy Directives II (RED II) tersebut, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran.

Hasil kajian Komisi Eropa menyatakan bahwa 45% dari ekspansi produksi CPO sejak tahun 2008 telah berujung pada kehancuran hutan, lahan gambut (peatlands) dan lahan basah (wetlands) serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara terus-menerus.

Adapun kajian tersebut menyebutkan bahwa hanya 8% dari ekspansi produksi minyak kedelai (soybean oil) dan 1% dari minyak rapeseed dan bunga matahari (sunflower) yang berkontribusi pada kerusakan yang sama, seperti dilansir dari Reuters.

Seperti diketahui, ketiga komoditas ini merupakan pesaing sawit dalam pasar minyak nabati global.

Komisi Eropa sendiri menetapkan angka 10% sebagai batas untuk menentukan minyak nabati mana yang lebih berbahaya bagi lingkungan, dalam kriteria indirect land use change/ILUC yang disebut negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia sebagai kriteria yang tidak diakui secara universal.


Sikap Uni Eropa Terhadap CPO Indonesia
[Gambas:Video CNBC]
(hps/hps) Next Article Harga CPO Agak Loyo, Saham Emiten Sawit Mulai Tumbang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular