Larangan Sawit Uni Eropa Jadi Ancaman Serius Bagi Indonesia

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
14 March 2019 20:09
Larangan Sawit Uni Eropa Jadi Ancaman Serius Bagi Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada hari Rabu (13/3/2019), Komisi Uni Eropa kembali menentukan kriteria baru penggunaan minyak sawit untuk bahan baku pembuatan biodiesel di negara-negara Uni Eropa.

Dalam peraturan yang baru tersebut, minyak sawit dikategorikan sebagai produk yang 'tidak berkelanjutan' alias tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.

Keputusan tersebut muncul sebagai jawaban atas kesepakatan yang telah disetujui oleh 28 negara Uni Eropa yang menyoroti masalah deforestasi akibat adanya budidaya sawit yang masif.

Uni Eropa berpendapat bahwa kriteria baru tersebut sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO), sebuah lembaga dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menaungi urusan perdagangan internasional.

Peraturan baru itu akan diujicoba selama dua bulan. Dalam rentang waktu tersebut, negara-negara anggota Uni Eropa dapat menyatakan keberatan. Bila tidak ada yang berkeberatan, peraturan ini akan dipublikasikan dalam jurnal resmi Uni Eropa dan menjadi hukum yang berlaku.

Memang, sejak tahun lalu, kampanye negatif atas kelapa sawit marak digaungkan di Benua Biru. Penggiat lingkungan berpendapat bahwa pembukaan lahan yang terjadi akibat perluasan perkebunan sawit menyebabkan gas rumah kaca tidak tidak dapat dinetralisir.

Pasalnya, sebagian besar lahan sawit terdapat di Indonesia dan Malaysia, yang merupakan daerah yang banyak terdapat hutan hujan tropis.

Berbeda dengan hutan yang ada di Eropa, maupun daerah dengan iklim sub-tropis lainnya, hutan hujan tropis memiliki waku penyinaran matahari yang paling lama. Dengan berkurangnya jumlah hutan hujan tropis, penggiat lingkungan berpendapat bahwa perubahan iklim akan semakin parah.

Sudah sejak lama Uni Eropa berkomitmen untuk melakukan perlawanan terhadap pemanasan global dan menargetkan untuk mengurangi emisi hingga 40% pada 2030, dibanding tahun 1990. Ada pula maksud untuk meningkatkan porsi dari penggunaan energi terbarukan hingga 32% dan efisiensi energi hingga 32,5%.

Dampaknya, minyak sawit tidak lagi dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel di Uni Eropa karena tidak sesuai dengan konsep 'energi hijau' yang mengharuskan menggunakan bahan dengan kategori 'terbarukan'. Namun, Komisi Eropa agak melunak dengan membuat pengecualian bagi minyak sawit yang berasal dari perkebunan yang kecil, dengan luas lahan tidak lebih dari dua hektare.

Tapi tetap saja, batasan-batasan tersebut akan menyulitkan pelaku industri untuk memasok minyak sawit ke Eropa. Terlebih lagi pelaku usaha pengiriman yang tak mau ambil risiko.

"Negara-negara Eropa bisa memperketat impor minyak sawit," kata pialang di Kuala Lumpur yang biasa memasok minyak sawit ke Eropa, mengutip Reuters. "importir tampaknya akan enggan untuk mengambil risiko."

Mengingat sebagian besar, bahkan hingga 51% dari impor minyak sawit negara-negara Eropa dipergunakan untuk keperluan biodiesel, maka tentu ini merupakan bahaya yang serius bagi Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA)
Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, sudah barang tentu peraturan ini menjadi ancaman yang serius.

Pada tahun 2018 saja, produksi minyak sawit Tanah Air mencapai 47,4 juta ton. Malaysia di posisi ke-2 mengekor di belakang dengan produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sebesar 19,5 juta ton pada tahun 2018. Jika digabung, Indonesia dan Malaysia menyumbang 85% dari total pasokan minyak sawit dunia.

Volume ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2017 mencapai 3,34 juta ton, hanya kalah dari India yang sebesar 7,3 juta ton. Sedangkan dari seluruh negara-negara Eropa, Belanda merupakan yang paling banyak mengimpor minyak sawit dari Indonesia, yang mana mencapai 1,16 juta ton pada tahun 2017.

Artinya, Uni Eropa memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan).




Bila separuh permintaan minyak sawit dari Eropa berkurang, maka sudah tentu akan sangat berdampak pada permintaan minyak sawit.

Bahkan sejak kampanye negatif terhadap sawit mulai mencuat pada tahun 2017, harga CPO terus mengalami tren penurunan. Apalagi bila sudah mulai berlaku sebagai hukum. Belum lagi, ada prediksi bahwa tahun ini produksi sawit Indonesia masih akan meningkat. Bisa-bisa harga sawit hancur lebur.

Dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak, ekspor minyak sawit menyumbang sebesar 12% dari total ekspor non migas. Bila nilai ekspor utama RI ini terpangkas, maka defisit perdagangan agaknya semakin sulit untuk dihindari.

Ujung-ujungnya bisa memperlebar defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) yang sudah menyentuh 2,98% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2018. Nilai tukar rupiah menjadi taruhannya.

Tidak hanya itu, akan ada lebih dari 5 juta orang petani yang akan kehilangan sabagian besar dari pendapatannya.



Jika sudah begini, diperlukan suatu strategi lain untuk menyerap pasokan yang berlebih.

Memang, pemerintah sudah mencanangkan program B20, yang membuat 20% campuran dari biodiesel berasal dari minyak sawit. Namun agaknya dengan jumlah tersebut, masih belum cukup untuk membuat keseimbangan fundamental menjadi lebih baik.

Hal ini terlihat dari harga minyak sawit yang terus turun selama tujuh hari secara beruntun hingga hari ini.

Usaha pemerintah untuk meningkatkan porsi campuran minyak sawit hingga 100% dalam produksi biodiesel untuk kebutuhan nasional sudah sepatutnya mendapat dukungan.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular