Kelabu di 2018, Mungkinkah Industri Sawit RI Bangkit di 2019?

14 March 2019 14:56
Kelabu di 2018, Mungkinkah Industri Sawit RI Bangkit di 2019?
Foto: Kelapa sawit (REUTERS/Lai Seng Sin)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 adalah tahun kelabu bagi industri kelapa sawit Indonesia. Bagaimana tidak, beberapa big player dalam industri ini semuanya kompak mencatatkan pertumbuhan laba bersih negatif. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).

Tabel di bawah ini merangkum perolehan pendapatan dan laba bersih negatif ketiga perusahaan tersebut antara tahun 2017 dan 2018.

Mau Sampai Kapan Industri Sawit Kita Rugi?Foto: Emiten CPO (Tim Riset CNBC Indonesia)


Sumber: Laporan Keuangan 2018 SIMP, LISP, dan AALI. Diolah oleh Dwi Ayuningtyas. Angka dalam juta rupiah.

Berdasarkan tabel di atas, baik LSIP dan SIMP tidak hanya mencatatkan pertumbuhan negatif pada laba bersih, tapi juga dari sisi pendapatan perusahaan. Perolehan pendapatan LISP pada 2018 anjlok 15,16% year-on-year (YoY) menjadi Rp 4,02 triliun. Sedangkan penjualan SIMP tahun lalu turun 10,34% YoY menjadi Rp 14,19 triliun.

Walaupun demikian, AALI masih dapat mencatatkan pertumbuhan positif dari segi pendapatan yang naik 10,28% di tahun 2018 menjadi Rp 19,08 triliun dari yang sebelumnya hanya Rp 17,3 triliun.

Perolehan pendapatan perusahaan maksimal turun di kisaran 15% YoY, bahkan masih ada yang positif. Lalu, mengapa pertumbuhan laba bersih anjlok hingga 54%, dan ada juga yang berubah haluan dari untung jadi rugi?

Jika ditelaah lebih detil, rasio beban pokok penjualan terhadap pendapatan, atau dikenal juga dengan gross margin, pada tahun 2018 meningkat jika dibandingkan tahun 2017. Ini artinya, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk aktivitas produksi meningkat, akan tetapi peningkatannya tidak dibarengi dengan peningkatan penjualan.

SIMP dan LSIP dalam press release perusahaan menyatakan bahwa perusahaan mencatatkan kenaikan kapasitas produksi di tahun 2018. Produksi crude palm oil/CPO (minyak kelapa sawit) LSIP dan SIMP meningkat masing-masing 16,4% YoY dan 20% YoY.

Sayangnya, meskipun kapasitas perusahaan bertambah tapi perusahaan gagal untuk menjual produk dengan harga yang bagus.
Harga minyak kelapa sawit mentah di Bursa Malaysia Derivatives Exchange pada tahun 2018 secara rata-rata turun 13,73%  menjadi MYR 2.293/ton dari MYR 2.659/ton di tahun 2017. Pada November 2018, harga CPO menyentuh titik terendahnya semenjak 2015.


Penurunan harga minyak kelapa sawit dikarenakan tingginya pasokan kelapa sawit dunia. Jika menggabungkan data persediaan minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia, rata-rata persediaan akhir tahun 2018 meroket 54,88% menjadi 6,63 juta ton dari 4,28 juta ton di tahun 2017.


 
Penurunan harga tahun 2018 langsung berdampak pada total ekspor CPO Indonesia. Meskipun volume export kelapa sawit Indonesia tumbuh 3% YoY menjadi 29 juta ton, tetapi nilai ekspor turun 11,9% menjadi Rp 235,28 triliun.



Banyak kejadian tidak sedap yang membayangi pergerakan harga CPO tahun 2018. Dimulai dari kenaikkan tarif impor India hingga pelarangan impor kelapa sawit oleh Uni Eropa

Tahun 2018, negara-negara importir utama kelapa sawit Indonesia, seperti Uni Eropa dan India, membukukan pertumbuhan negatif jika dibandingkan tahun 2018. Impor minyak kelapa sawit Indonesia oleh India turun 12% menjadi 7,63 juta ton dari 6,71 juta ton. Sedangakan, Uni Eropa turun 5% menjadi 4,78 juta ton dai 5,03 juta ton.  

Momok turunnya impor India tahun lalu adalah akibat dari kebijakan pemerintah India yang menaikkan tarif impor CPO menjadi 44% dari tahun 2017 yang hanya 30%. Selain itu, bea masuk refine products kelapa sawit juga naik menjadi 54% dari 40% di tahun 2017.
  Lebih lanjut, setelah dihantam India, industri CPO juga dihantam oleh Uni Eropa. Pasalnya, pertengahan tahun 2018, Eropa mengeluarkan kebijakan pembatasan impor minyak kelapa sawit beserta turunnya pada tahun 2021. Eropa bahkan melarang impor CPO dari lahan yang tidak ramah lingkungan. Tahun 2019 CPO masih belum pulih, jika dibandingkan dengan 2017. Pasalnya, kelebihan pasokan dan penurunan permintaan masih menghantui industri CPO dunia.  

Reuters
memperkirakan adanya kontraksi dari segi permintaan di pasar minyak sawit global sepanjang 2019-2020, sebagai dampak kenaikkan produksi domestik di India.  

"Secara umum, ketersediaan minyak minyak masak di India akan lebih tinggi, dan akan mengurangi ketergantungan kami terhadap minyak impor," kata Athul Chaturvedi, Direktur Adani Wilmar Ltd, salah satu perusahaan minyak nabati terbesar di India.
  Berdasarkan keterangan dari B.V. Mehta, Direktur Eksekutif Solvent Extractors Association of India yang dilansir dari Reuters, produksi rapeseed akan menyentuh rekor 8 juta ton pada tahun ini. Akibatnya, ketersediaan minyak rapeseed domestik India akan meningkat lebih dari 1,5 juta ton yang akan menyerap lebih banyak permintaan dari dalam negeri.  

Lebih lanjut, di Eropa, permintaan CPO juga diprediksi berkurang karena pengaruh dari kampanye negatif atas minyak sawit yang dikaitkan dengan deforestasi.
  "Negara-negara Eropa bisa memperketat impor minyak sawit," kata pialang di Kuala Lumpur yang biasa memasok minyak sawit ke Eropa, mengutip Reuters. "Importir tampaknya enggan mengambil risiko."   Dengan demikian, melihat kondisi fundamental dunia yang kurang mendukung sepertinya masih belom dapat memulihkan industri minyak kelapa sawit tanah air.   

Hal ini sangat disayangkan, karena akhir tahin 2018 pemerintah Indonesia sudah memperoleh berita gembira atas negosiasi bea masuk CPO ke India. India tarif impor CPO dar Indonesia trun menjadi 40%  dari 44%, sedangkan olahannya turun dari 54% menjadi 50%. Namun tarif tersebut masih dirasa tinggi oleh Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia).
  Mari berharap, program pemerintah untuk meningkatkan produksi dan konsumsi biodiesel Indonesia dapat tercapai. Jika program ini berhasil, kelebihan pasokan kelapa sawit dapat diserap oleh konsumsi domestik.

Tim Riset CNBC Indonesia
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular