Gegara China dan The Fed, Rupiah Jadi Terlemah Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2019 09:25
Faktor Eksternal Bebani Rupiah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sepertinya faktor eksternal bertanggung jawab atas pelemahan rupiah cs di Asia ada pagi hari ini. Kabar kurang sedap dari China membuat investor agak menjauh.

Mengutip kantor berita Xinhua, China menargetkan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisaran 6-6,5%. Lebih lembat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,6%. Pertumbuhan ekonomi 6,6% saja sudah yang terlemah sejak 1990.

China adalah perekonomian nomor 1 di Asia. Perlambatan ekonomi China, yang berstatus sebagai lokomotif, akan membuat gerbong-gerbong di belakangnya ikut melambat. Prospek ekonomi Asia menjadi lebih suram, sehingga membuat investor mundur teratur.

Tidak cuma di pasar valas, bursa saham Asia pun dihiasi warna merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,53%, Hang Seng melemah 0,63%, Shanghai Composite minus 0,04%, Kospi berkurang 0,7%, dan Straits Times jatuh 0,47% pada pukul 09:09 WIB. 


Selain itu, dolar AS juga sedang perkasa secara global. Pada pukul 09:09 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat tipis 0,01%. 

Dolar AS mendapat suntikan tenaga karena prospek kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed. Peluang ini muncul karena dampak damai dagang AS-China yang sepertinya akan menjadi kenyataan dalam waktu tidak lama lagi. 


Damai dagang akan membuat ekonomi Negeri Paman Sam kembali bergairah. Ekspor dan investasi akan melesat karena tidak ada lagi hambatan dari China.

Saat ekspor dan investasi tumbuh kencang, maka konsumsi rumah tangga akan mengikuti. Artinya, ada harapan pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya akan kembali terakselerasi.

Permintaan meningkat, dan terciptalah tekanan inflasi. Di situ kemudian The Fed masuk, mencoba mengendalikan inflasi dengan mengerem permintaan melalui kenaikan suku bunga acuan. 

Bank Indonesia (BI) memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menaikkan Federal Funds Rate sekali pada tahun ini. Meski hanya naik sekali, tetapi lebih agresif ketimbang para 'sparring partner'-nya seperti Bank Sentral Jepang (BoJ) dan Bank Sentral Uni Eropa (BoE) yang masih berkutat dengan kebijakan moneter longgar. 



Ditopang oleh prospek kenaikan suku bunga acuan, dolar AS menjadi menarik di mata investor. Ini membuat arus modal masih berkerumun di sekitar greenback sehingga nilainya terus menguat.    

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular