Harga Minyak Menguat, Tapi Awan Kelabu Masih Menghantui

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 March 2019 19:16
Awan Kelabu Masih Menghantui
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Tren peningkatan produksi minyak AS yang masih berlangsung berpotensi membuat usaha OPEC menjadi sia-sia. Pasalnya sejak awal tahun 2018, keran produksi minyak AS telah bertambah lebih dari 2 juta barel/hari.

Bahkan sekarang masih bertengger di level 12 juta barel/hari, rekor tertinggi sepanjang sejarah sekaligus terbesar di dunia.



Presiden AS Donald Trump beberapa waktu lalu mengatakan bawha harga minyak yang sekarang ini sudah terlalu mahal dan meminta OPEC sedikit melonggarkan usahanya.

"Harga minyak sudah terlalu tinggi. OPEC, mohon santai saja. Dunia tidak bisa menanggung kenaikan harga [minyak] - terlalu riskan!" tulis Trump dalam akun Twitter pribadinya minggu lalu (25/2/2019).

Meskipun hanya di Twitter, namun pernyataan tersebut menjadi peringatan bahwa Trump akan melakukan usaha untuk terus meningkatkan produksi minyak demi harga yang murah.


Menyusul pernyataan tersebut, pada Kamis (28/2/2019) Departemen Energi AS mengungkapkan penawaran untuk menjual minyak mentah dari cadangan darurat nasional sebanyak 6 juta barel untuk menggalang dana modernisasi fasilitas perminyakan. Aksi tersebut merupakan mandat yang telah ditandatangani oleh Trump tahun lalu.

Meskipun hanya akan mempengaruhi pasar dalam jangka pendek, pengumuman tersebut menjadi peringatan terhadap OPEC bahwa AS masih bisa melakukan upaya untuk menurunkan harga minyak.

Selain itu, kekhawatiran akan berkurangnya permintaan minyak dunia masih terus muncul seiring rilis data makroekonomi di sejumlah negara.


Akhir pekan lalu (1/3/2019), Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur AS periode Februari versi ISM dibacakan dan ternyata jatuh di angka 54,2, di bawah konsensus pasar yang sebesar 55,5. Meski masih ekspansif karena nilai di atas 50, namun optimisme pelaku industri manufaktur berkurang, menandakan adanya perlambatan permintaan.

Sebelumnya, pada Rabu (27/2/2019) pemesanan produk-produk manufaktur periode Desember 2018 diumumkan hanya tumbuh tipis 0,1% MoM, jauh di bawah konsensus yang memperkirakan pertumbuhan hingga 1,5% MoM, seperti dilansir dari Forex Factory.

Di China, PMI manufaktur periode Februari yang dibacakan oleh Biro Statistik Nasional berada di posisi 49,2. Lebih rendah dari prediksi konsensus pasar yang sebesar 49,5 dan sekaligus menjadi yang terendah dalam 3 tahun.

Nasib serupa juga terjadi di Jepang, di mana produksi pabrik periode Januari turun 3,7% month-to-month (MtM). Ini merupakan indikator yang kuat menggambarkan ekonomi Negeri Sakura yang masih tertekan akibat lesunya permintaan dari China.

Fakta-fakta tersebut mencerminkan aktifitas industri yang tengah melambat. Bila terus berada pada kondisi yang lesu, maka pertumbuhan permintaan energi bisa ikut melambat. Atau bahkan tumbuh negatif.

Meski demikian, hari ini sentimen positif yang masih didominasi damai dagang berhasil membuat pelaku pasar sedikit melupakan awan kelabu.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/tas)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular