Paling Jago Jaga Marjin, BBCA Paling Banyak Dikoleksi Asing

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 March 2019 08:04
Paling Jago Jaga Marjin, BBCA Paling Banyak Dikoleksi Asing
Foto: BCA REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sangat rentan koreksi jika marjin bunga bersih/net interest margin (NIM) dari perbankan dipaksa turun.

Berbicara dalam diskusi panel di acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019 pada hari Kamis (28/2/2019), Jahja mengatakan bahwa saat ini ada lima bank yang memiliki kapitalisasi pasar dan bobot besar terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

"Kenapa NIM harus dipertahankan? Untuk bisa menahan tidak terjadi profit taking di saham bank. Karena kalau harga saham lima bank ini ambrol, BEI (Bursa Efek Indonesia) bisa hancur," kata Jahja di Hotel Westin, Jakarta, Kamis (28/2/2019).

Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Berdasarkan data yang kami kumpulkan, 5 emiten perbankan dengan kapitalisasi terbesar di pasar saham tanah air adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 676,1 triliun), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 472,6 triliun), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 331,5 triliun), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 165,7 triliun), dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk/BDMN (Rp 74,96 triliun).

Saksikan video penjelasan tentang NIM perbankan di bawah ini:

[Gambas:Video CNBC]

Komentar yang dilontarkan Jahja terkait NIM bukan tanpa alasan. Saat ini, bank-bank besar di tanah air memang sedang menghadapi tekanan terhadap NIM masing-masing. Penyebabnya adalah kenaikan suku bunga acuan yang dieksekusi oleh Bank Indonesia (BI). Sepanjang tahun lalu, BI mengerek naik suku bunga acuan sebesar 175 bps.

Seiring dengan kenaikan suku bunga acuan, bank terpaksa menaikkan suku bunga deposito yang mereka tawarkan. Namun di sisi lain, suku bunga kredit tak bisa dikerek naik lantaran permintaan yang relatif terbatas.


Melansir Statistik Perbankan Indonesia periode Desember 2018 yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata suku bunga kredit bank umum untuk modal kerja (denominasi rupiah) turun sebesar 34 bps pada Desember 2018 jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (dari 10,71% menjadi 10,37%). Sementara untuk kredit investasi, rata-rata suku bunganya turun sebesar 18 bps (dari 10,56% menjadi 10,38%).

Namun menariknya, Bank BCA sendiri justru menjadi yang paling kebal dalam menghadapi masalah ini. Sepanjang tahun 2018, dari seluruh bank yang masuk dalam kategori BUKU 4 (bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun), penurunan NIM dari Bank BCA merupakan yang paling tipis. Sepanjang tahun lalu, NIM dari BBCA hanya turun sebesar 6 bps menjadi 6,13%, dari yang sebelumnya 6,19% pada tahun 2017.

Jika dibandingkan dengan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) yang NIM-nya masing-masing terpangkas sebesar 48 bps, penurunan NIM Bank BCA bisa dibilang sangat-sangat tipis.


Penurunan NIM Bank BCA yang sangat terbatas salah satunya disebabkan oleh membesarnya porsi dana murah yang terdiri dari tabungan dan giro. Pada tahun 2017, tabungan dan giro berkontribusi sebesar 76,3% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) perusahaan. Pada tahun 2018, nilainya naik menjadi 76,7%.


Naiknya porsi dana murah membuat biaya dana/cost of fund perusahaan mengalami penurunan. Pada tahun 2018, cost of fund perusahaan adalah sebesar 1,81%, turun 21 bps dibandingkan posisi tahun 2017 yang sebesar 2,02%.



Pada perdagangan kemarin (1/3/2019), harga saham BBCA menguat 0,45% ke level Rp 27.700/unit. Titik tertinggi harga saham BBCA kemarin berada di level Rp 28.000/unit ( 1,54% dibandingkan penutupan perdagangan hari Kamis).

Aksi beli atas saham BBCA banyak dilakukan oleh investor asing. Hingga akhir perdagangan, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 40,4 miliar atas saham BBCA, terbesar dibandingkan beli bersih atas saham-saham lainnya.

Pelaku pasar mengapresiasi keberhasilan BBCA dalam menjaga NIM-nya di level yang relatif tinggi.

Tak sampai disitu, pelaku pasar juga mengapresiasi derasnya penyaluran kredit perusahaan. Sepanjang tahun lalu, penyaluran kredit BBCA tumbuh sebesar 15,1% menjadi Rp 538,1 triliun. Pertumbuhan tersebut merupakan yang terbesar kedua jika disandingkan dengan 4 emiten bank BUKU 4 lainnya.  
Akibat dari pesatnya pertumbuhan penyaluran kredit, pendapatan bunga bersih tumbuh sebesar 8,3% pada tahun lalu menjadi Rp 45,3 triliun, dari yang sebelumnya Rp 41,86 triliun pada tahun 2017.

Sementara itu, laba bersih melejit 10,9% menjadi Rp 25,86 trliun, dari yang sebelumnya Rp 23,3 triliun. Jika Bank BCA bisa melanjutkan tren positif yakni menjaga NIM di level yang relatif tinggi dan pertumbuhan penyaluran kredit yang kencang, saham BBCA bisa terus menjadi pilihan investor untuk menginvestasikan dananya.

TIM RISET CNBC INDONESIA




(ank/roy) Next Article BCA Cetak Laba Rp 23,2 T di September, Aset Tembus Rp 1.169 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular