Untuk Menghibur Diri: Rupiah Tak Lagi Terlemah di Asia...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 February 2019 16:51
Untuk Menghibur Diri: Rupiah Tak Lagi Terlemah di Asia...
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun rupiah boleh menghibur diri karena bukan lagi berstatus sebagai mata uang terlemah di Asia.

Pada Kamis (14/2/2019), US$ 1 sama dengan Rp 14.085 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.


Mata uang Tanah Air bergerak melemah sepanjang hari ini. Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,04%. Penguatan tipis itu menjadi menebal seiring perjalanan pasar. Puncaknya adalah rupiah sempat melemah nyaris 0,3% dan dolar AS begitu dekat dengan level Rp 14.100.


Namun jelang tengah hari, depresiasi rupiah agak berkurang meski belum bisa menguat. Beberapa saat sebelum penutupan pasar, pelemahan rupiah sempat berkurang drastis menjadi hanya 0,07%.


Akan tetapi itu juga tidak bertahan lama dan rupiah finis dengan depresiasi 0,21%. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:



Di tingkat Asia, rupiah sempat cukup lama menghuni dasar klasemen alias menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning. Namun kala penutupan pasar spot valas Indonesia, ternyata mata uang utama Asia mayoritas juga melemah. Bahkan ada yang melemah lebih dalam ketimbang rupiah.

Peso Filipina kini menjadi mata uang terlemah di Asia, disusul oleh rupee India dan yuan China di posisi ketiga dari bawah. Sementara rupiah naik dari dasar klasemen ke peringkat keempat dari bawah. Lumayan lah...

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:15 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Mata uang Asia yang sempat ramai-ramai menguat di hadapan dolar AS sekarang malah mundur teratur. Wajar saja, dolar AS juga sedang menguat secara global.

Pada pukul 16:17 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,07%. Ya, sepertinya dolar AS sudah selesai beristirahat dan siap melaju kembali.

Investor kembali ke pelukan dolar AS sembari menunggu kepastian hasil dialog dagang AS-China yang sedang berlangsung di Beijing sejak awal pekan. Mulai hari ini dan besok, dilangsungkan perundingan tingkat menteri.

Sejauh ini belum ada hasil yang terlihat sehingga pelaku pasar masih dibiarkan menduga-duga. Namun kemungkinan besar akan sulit mencapai hasil signifikan dalam pertemuan ini.

Oleh karena itu, dolar AS masih menjadi pilihan utama. Apalagi data-data ekonomi di Negeri Paman Sam ternyata cukup baik, sehingga ada masih terbuka kemungkinan bagi The Federal Reserves/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan.

Teranyar, laju inflasi inti di AS berada di angka 2,2% year-on-year (YoY), tidak berubah selama 3 bulan terakhir. Inflasi inti yang stabil di kisaran 2% dianggap menunjukkan konsumsi masyarakat sudah kuat dan mantap sehingga menambah probabilitas Jerome ‘Jay’ Powell dan kolega untuk menaikkan Federal Funds Rate.

Dengan iming-iming kenaikan suku bunga acuan, dolar AS masih seksi di mata investor. Ditambah dengan sikap wait and see dan cari aman, dolar AS kian menjadi pilihan.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

Sementara rupiah masih belum bisa menguat karena tekanan harga minyak. Pada pukul 16:27 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melesat masing-masing 1,73% dan 1,34%.

Kenaikan harga minyak akan menimbulkan kecemasan terhadap nasib transaksi berjalan Indonesia. Harga minyak yang semakin mahal akan membuat defisit transaksi berjalan semakin dalam, sehingga rupiah kehilangan keseimbangan karena fondasinya yang begitu rapuh.

Defisit transaksi berjalan sudah menjadi penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh. Sebelum masalah ini selesai, rupiah memang akan selalu dihantui oleh risiko depresiasi karena fundamentalnya memang tidak mendukung penguatan.

Risiko pelebaran defisit transaksi berjalan semakin terlihat dengan ekspektasi pasar terhadap data perdagangan yang akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor turun atau terkontraksi 0,61% YoY sementara impor juga minus 0,785% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 925,5 juta.


Jika neraca perdagangan Januari benar-benar defisit, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular