Antara Jokowi, Harga Avtur & Kinerja Emiten Penerbangan
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
12 February 2019 12:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri penerbangan dalam negeri tengah menghadapi turbulensi, mulai dari mahalnya harga tiket, penerapan kebijakan bagasi berbayar, hingga penumpang yang sepi.
Pengamat pasar modal Riska Afriani menilai, emiten maskapai masih memang masih akan menghadapi tantangan di tahun 2019 di tengah masih tingginya harga avtur.
Atas kondisi itu, sejumlah maskapai menyiasati kenaikan beban operasional seperti naiknya harga avtur dengan mengerek harga tiket pesawat dan mengenakan bagasi berbayar.
Riska menilai, kenaikan harga avtur memang akan berdampak bagi emiten maskapai penerbangan Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dan AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) dari sisi operasional.
"Harga tiket naik karena beban operasional maskapai naik, disebabkan harga bahan bakar masih tinggi, emiten penerbangan rugi karena beban operasional masih tinggi," imbuh dia.
Soal harga harga avtur yang tinggi ini dikeluhkan pengusaha yang disebut-sebut sebagai penyebab naiknya harga tiket pesawat, sehingga berdampak ke bisnis lainnya. Akhirnya, Presiden Joko Widodo buka suara dan turun tangan.
Kepala Negara menginginkan harga bahan bakar maskapai ini lebih kompetitif, salah satu caranya adalah dengan memasukkan swasta untuk ikut memasok avtur.
"Karena monopoli harganya jadi tidak kompetitif. Bandingkan harga avtur di situ dengan yang di dekat-dekat kita. Terpaut kurang lebih 30-an persen dan itu yang harus dibenahi. Sehingga kalau nanti harganya sama dengan negara lain, ada yang namanya daya saing, ada competitiveness. Kalau ini terus-terusan ya nanti pengaruhnya ke harga tiket pesawat," ujar Presiden Jokowi, di Grand Sahid Jakarta, Senin malam (11/2/2019).
Kinerja Keuangan
Jika dilihat dari kinerja Keuangan, kata Riska, GIAA mencatatkan kinerja yang cukup baik di 2018 terlihat dari beban operasional yang mulai turun. "Kita lihat di mana bulan September rugi Garuda turun," ujar dia, kepada CNBC Indonesia, di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Pada laporan keuangan per September 2018 mulai mengurangi rugi bersih menjadi US$114,08 juta dari September 2017 sebesar US$ 222,04 juta dengan pendapatanya yang mulai naik dari US$3,11 miliar menjadi US$3,22 miliar. Adapun PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) justru merugi Rp 639,16 miliar, naik dari sebelumnya Rp 416,74 miliar.
Selain itu, mengenai pangsa pasar, Garuda telah mengambilalih operasional Swirijaya Air Group. "Itu juga hal yang bagus, pangsa pasar makin besar dan meningkatkan ratenya," ujar dia.
Dalam kesempatan sebelumnya, Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menganggap bahwa risiko kenaikan tiket pesawat dinilai rasional.
"Faktor kenaikan harga tiket memang dijadikan alasan untuk menutup kenaikan biaya operasional, kenaikan avtur, itu rasional diterima pasar," ucap Alfred kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Memang tidak ada relasi yang cukup kuat yang bisa membuktikan bahwa jika harga avtur turun, pendapatan maskapai penerbangan naik dan meraih untung, kata Alfred. Pada 2017, misalnya, saat harga minyak mentah dunia jatuh ke level US$50 dolar/barel, Garuda Indonesia masih mencatatkan kerugian bersih senilai Rp 2,88 triliun.
"Artinya bahwa seperti dalam konteks sekarang harga minyak dunia rendah enggak bisa munculkan optimisme, buktinya belum terlihat, perolehan laba belum konsisten," tutur dia.
"Saya katakan tahun 2019 emiten maskapai memang masih berat," ujarnya.
(hps/hps) Next Article Pesawat Lion Air Kecelakaan, Dua Saham Ini Kena Imbas
Pengamat pasar modal Riska Afriani menilai, emiten maskapai masih memang masih akan menghadapi tantangan di tahun 2019 di tengah masih tingginya harga avtur.
Atas kondisi itu, sejumlah maskapai menyiasati kenaikan beban operasional seperti naiknya harga avtur dengan mengerek harga tiket pesawat dan mengenakan bagasi berbayar.
Riska menilai, kenaikan harga avtur memang akan berdampak bagi emiten maskapai penerbangan Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dan AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) dari sisi operasional.
Soal harga harga avtur yang tinggi ini dikeluhkan pengusaha yang disebut-sebut sebagai penyebab naiknya harga tiket pesawat, sehingga berdampak ke bisnis lainnya. Akhirnya, Presiden Joko Widodo buka suara dan turun tangan.
Kepala Negara menginginkan harga bahan bakar maskapai ini lebih kompetitif, salah satu caranya adalah dengan memasukkan swasta untuk ikut memasok avtur.
"Karena monopoli harganya jadi tidak kompetitif. Bandingkan harga avtur di situ dengan yang di dekat-dekat kita. Terpaut kurang lebih 30-an persen dan itu yang harus dibenahi. Sehingga kalau nanti harganya sama dengan negara lain, ada yang namanya daya saing, ada competitiveness. Kalau ini terus-terusan ya nanti pengaruhnya ke harga tiket pesawat," ujar Presiden Jokowi, di Grand Sahid Jakarta, Senin malam (11/2/2019).
Kinerja Keuangan
Jika dilihat dari kinerja Keuangan, kata Riska, GIAA mencatatkan kinerja yang cukup baik di 2018 terlihat dari beban operasional yang mulai turun. "Kita lihat di mana bulan September rugi Garuda turun," ujar dia, kepada CNBC Indonesia, di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Pada laporan keuangan per September 2018 mulai mengurangi rugi bersih menjadi US$114,08 juta dari September 2017 sebesar US$ 222,04 juta dengan pendapatanya yang mulai naik dari US$3,11 miliar menjadi US$3,22 miliar. Adapun PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) justru merugi Rp 639,16 miliar, naik dari sebelumnya Rp 416,74 miliar.
Selain itu, mengenai pangsa pasar, Garuda telah mengambilalih operasional Swirijaya Air Group. "Itu juga hal yang bagus, pangsa pasar makin besar dan meningkatkan ratenya," ujar dia.
Dalam kesempatan sebelumnya, Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menganggap bahwa risiko kenaikan tiket pesawat dinilai rasional.
"Faktor kenaikan harga tiket memang dijadikan alasan untuk menutup kenaikan biaya operasional, kenaikan avtur, itu rasional diterima pasar," ucap Alfred kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Memang tidak ada relasi yang cukup kuat yang bisa membuktikan bahwa jika harga avtur turun, pendapatan maskapai penerbangan naik dan meraih untung, kata Alfred. Pada 2017, misalnya, saat harga minyak mentah dunia jatuh ke level US$50 dolar/barel, Garuda Indonesia masih mencatatkan kerugian bersih senilai Rp 2,88 triliun.
"Artinya bahwa seperti dalam konteks sekarang harga minyak dunia rendah enggak bisa munculkan optimisme, buktinya belum terlihat, perolehan laba belum konsisten," tutur dia.
"Saya katakan tahun 2019 emiten maskapai memang masih berat," ujarnya.
(hps/hps) Next Article Pesawat Lion Air Kecelakaan, Dua Saham Ini Kena Imbas
Most Popular