Janji Manis Jokowi dan Kenyataan Pahit Pertumbuhan Ekonomi
Iswari Anggit, CNBC Indonesia
07 February 2019 08:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,17%. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, angka pertumbuhan ekonomi ini sudah cukup baik di tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu.
Jika kembali mengingat masa-masa awal pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK), angka pertumbuhan ekonomi tersebut masih jauh dari target yang dijanjikan, yakni sampai 7%.
"7% itu target kapan? 2014-kan? RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah] itu kan disusun untuk lima tahun ke depan. Kita tidak pernah berpikir The Fed [Bank Sentral AS] akan menaikkan bunga cukup sering, perang dagang, dan sebagainya. Target 7% berat sekali," ujar Suhariyanto, Rabu (6/2/2019).
"Tapi memperhatikan ekonomi global, komoditas fluktuatif, saya bilang [angka pertumbuhan] 5,17% bagus. Kita tidak the best tapi masih okelah," tambahnya.
Dalam data BPS disebutkan pada triwulan keempat lalu harga komoditas seperti minyak kelapa sawit, ikan, alumunium, nikel, tambang turun secara kuartalan. Begitu juga harga kedelai yang turun secara tahunan atau year-on-year (yoy).
Tren penurunan harga juga dialami komoditas migas. ICP (Indonesia Crude Prices) pada kuartal keempat tahun lalu mencapai US$65,12 per barel, padahal di kuartal sebelumnya harganya mencapai US$ 71,64 per barel.
Tak hanya itu, data BPS juga menyebutkan bahwa negara-negara rekan dagang Indonesia, seperti China dan Amerika Serikat (AS) mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Pada kuartal keempat, ekonomi China hanya tumbuh 6,14%. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal keempat yang diperkirakan stagnan di kisaran 3%. Padahal, kontribusi ekspor komoditas RI ke China dan AS sangat besar, masing-masing mencapai 14,5% dan 11%.
Ditemui usai rapat terbatas (ratas) di Instana Negara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi RI belum memuaskan. Namun, Darmin punya alasan tersendiri mengapa pertumbuhan ekonomi RI tahum 2018 ini bergerak lambat dan jauh dari target.
"Ya saya akan mengatakan pertumbuhan kita itu memang tidak sampai seperti yang kita harapkan tadinya. Tapi, ya cukup resilien di tengah ekonomi dunia yang tidak stabil," ujarnya.
"Nah memang pertumbuhan yang lebih tinggi itu mungkin tergantung komposisi belanja pemerintahnya. Dalam lima tahun terakhir memang pemerintah mau membenahi infrastruktur, karena apa? [Karena] sudah terlambat, belasan tahun," jelasnya.
"Tanpa itu dibenahi kita itu terkendala oleh pertumbuhan industri, macam-macam. Nah setelah infrastruktur sudah dibenahi, ya nanti bisa saja dibuat kebijakannya yang lebih mendorong pertumbuhan [ekonomi]," sambungnya.
Dengan sisa masa jabatan yang ada, Darmin mengatakan pemerintah akan terus mengoptimalkan kebijakan dan sinergi antarkementerian-lembaga, agar pertumbuhan ekonomi bisa meningkat lebih baik lagi. Apalagi, jika pembangunan infrastruktur sudah selesai, tentu akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Simak video pernyataan BPS mengenai pertumbuhan ekonomi RI berikut ini.
(prm) Next Article Ekonomi RI 'Hanya' Tumbuh 5,17% di 2018, Apa Kata Darmin?
Jika kembali mengingat masa-masa awal pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK), angka pertumbuhan ekonomi tersebut masih jauh dari target yang dijanjikan, yakni sampai 7%.
"7% itu target kapan? 2014-kan? RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah] itu kan disusun untuk lima tahun ke depan. Kita tidak pernah berpikir The Fed [Bank Sentral AS] akan menaikkan bunga cukup sering, perang dagang, dan sebagainya. Target 7% berat sekali," ujar Suhariyanto, Rabu (6/2/2019).
Dalam data BPS disebutkan pada triwulan keempat lalu harga komoditas seperti minyak kelapa sawit, ikan, alumunium, nikel, tambang turun secara kuartalan. Begitu juga harga kedelai yang turun secara tahunan atau year-on-year (yoy).
![]() |
Tren penurunan harga juga dialami komoditas migas. ICP (Indonesia Crude Prices) pada kuartal keempat tahun lalu mencapai US$65,12 per barel, padahal di kuartal sebelumnya harganya mencapai US$ 71,64 per barel.
Tak hanya itu, data BPS juga menyebutkan bahwa negara-negara rekan dagang Indonesia, seperti China dan Amerika Serikat (AS) mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Pada kuartal keempat, ekonomi China hanya tumbuh 6,14%. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal keempat yang diperkirakan stagnan di kisaran 3%. Padahal, kontribusi ekspor komoditas RI ke China dan AS sangat besar, masing-masing mencapai 14,5% dan 11%.
Ditemui usai rapat terbatas (ratas) di Instana Negara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi RI belum memuaskan. Namun, Darmin punya alasan tersendiri mengapa pertumbuhan ekonomi RI tahum 2018 ini bergerak lambat dan jauh dari target.
"Ya saya akan mengatakan pertumbuhan kita itu memang tidak sampai seperti yang kita harapkan tadinya. Tapi, ya cukup resilien di tengah ekonomi dunia yang tidak stabil," ujarnya.
"Nah memang pertumbuhan yang lebih tinggi itu mungkin tergantung komposisi belanja pemerintahnya. Dalam lima tahun terakhir memang pemerintah mau membenahi infrastruktur, karena apa? [Karena] sudah terlambat, belasan tahun," jelasnya.
"Tanpa itu dibenahi kita itu terkendala oleh pertumbuhan industri, macam-macam. Nah setelah infrastruktur sudah dibenahi, ya nanti bisa saja dibuat kebijakannya yang lebih mendorong pertumbuhan [ekonomi]," sambungnya.
Dengan sisa masa jabatan yang ada, Darmin mengatakan pemerintah akan terus mengoptimalkan kebijakan dan sinergi antarkementerian-lembaga, agar pertumbuhan ekonomi bisa meningkat lebih baik lagi. Apalagi, jika pembangunan infrastruktur sudah selesai, tentu akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Simak video pernyataan BPS mengenai pertumbuhan ekonomi RI berikut ini.
(prm) Next Article Ekonomi RI 'Hanya' Tumbuh 5,17% di 2018, Apa Kata Darmin?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular