
Rupiah Terkuat di Asia, Tapi Hati-hati Kalau Terlalu Kuat
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 January 2019 16:45

Pelaku pasar juga optimistis dengan dialog dagang AS-China yang berlangsung di Washington. Delegasi China dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara di meja seberangnya dikomandoi Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Untuk memperbaiki hubungan dengan dengan Washington, Beijing pun siap melakukan reformasi. Seperti diberitakan kantor berita Xinhua, mengutip Reuters, parlemen China akan membahas aturan yang melarang kewajiban transfer teknologi dan intervensi pemerintah yang ilegal terhadap investasi dari luar negeri.
Isu tersebut sudah lama disuarakan oleh AS. Pemerintahan Presiden Donald Trump kerap kali mengkritik praktik investasi di China, yang mengharuskan investor asing melakukan transfer teknologi kepada perusahaan lokal. Perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, itu yang selalu ditekankan oleh Negeri Paman Sam.
"(Peraturan) ini adalah kebutuhan yang mendesak. Sebab dengan aturan yang ada akan sulit untuk memfasilitasi sistem yang berdasarkan kepada keterbukaan ekonomi," kata Fu Zhenghua, Menteri Kehakiman China.
Rencana China yang bakal lebih ramah kepada investor asing tentu akan membuat AS gembira. Ini bisa menjadi kunci kesuksesan dalam proses damai dagang AS-China.
Sementara dari dalam negeri, rupiah juga terdorong karena 'restu' Bank Indonesia (BI). Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, menegaskan bahwa bank sentral membiarkan rupiah menguat sampai ke bawah Rp 14.000/US$.
"Bank Indonesia tetap akan membiarkan Rupiah berlanjut menguat di bawah Rp 14.000/US$ karena rupiah masih undervalued. Sekaligus untuk memperkuat confidence terhadap Indonesia," tutur Nanang.
Pernyataan ini membuat pelaku pasar lega. BI dinilai tidak membatasi penguatan rupiah agar tidak terlalu mempengaruhi kinerja ekspor. Maklum, jika rupiah terus menguat ekspor bisa turun karena harga produk-produk Indonesia akan lebih mahal di pasar global.
Namun penguatan yang signifikan ini mengandung risiko. Seperti beberapa hari lalu, rupiah yang menguat terlalu tajam memancing terjadinya ambil untung (profit taking). Koreksi teknikal bisa terjadi setiap saat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Untuk memperbaiki hubungan dengan dengan Washington, Beijing pun siap melakukan reformasi. Seperti diberitakan kantor berita Xinhua, mengutip Reuters, parlemen China akan membahas aturan yang melarang kewajiban transfer teknologi dan intervensi pemerintah yang ilegal terhadap investasi dari luar negeri.
Isu tersebut sudah lama disuarakan oleh AS. Pemerintahan Presiden Donald Trump kerap kali mengkritik praktik investasi di China, yang mengharuskan investor asing melakukan transfer teknologi kepada perusahaan lokal. Perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, itu yang selalu ditekankan oleh Negeri Paman Sam.
Rencana China yang bakal lebih ramah kepada investor asing tentu akan membuat AS gembira. Ini bisa menjadi kunci kesuksesan dalam proses damai dagang AS-China.
Sementara dari dalam negeri, rupiah juga terdorong karena 'restu' Bank Indonesia (BI). Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, menegaskan bahwa bank sentral membiarkan rupiah menguat sampai ke bawah Rp 14.000/US$.
"Bank Indonesia tetap akan membiarkan Rupiah berlanjut menguat di bawah Rp 14.000/US$ karena rupiah masih undervalued. Sekaligus untuk memperkuat confidence terhadap Indonesia," tutur Nanang.
Pernyataan ini membuat pelaku pasar lega. BI dinilai tidak membatasi penguatan rupiah agar tidak terlalu mempengaruhi kinerja ekspor. Maklum, jika rupiah terus menguat ekspor bisa turun karena harga produk-produk Indonesia akan lebih mahal di pasar global.
Namun penguatan yang signifikan ini mengandung risiko. Seperti beberapa hari lalu, rupiah yang menguat terlalu tajam memancing terjadinya ambil untung (profit taking). Koreksi teknikal bisa terjadi setiap saat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular