
Margin Bank Tinggi Bisa Bikin Nasabah Korporasi Kabur
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
29 January 2019 08:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Data Statistik Perbankan Indonesia dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan per November 2018 nett interest margin (margin bunga bersih) atau NIM bank umum konvensional berada di 5,12%.
NIM industri perbankan Indonesia ini dinilai tinggi bila dibandingkan angka di negara-negara kawasan ASEAN lainnya.
Secara rinci, pada periode November 2018, NIM Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV tercatat sebesar 5,77%. NIM Bank BUKU I tercatat sebesar 5,60% dan NIM BUKU II 5,05%. Sementara, NIM Bank BUKU III ada di kisaran 4,20%, menurut data tersebut.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto menjelaskan NIM tinggi menggambarkan inefisiensi akibat biaya operasi yang mahal. Pengusaha berpotensi kabur dan mencari alternatif pendanaan lain selain perbankan.
"Secara umum NIM yang tinggi itu menggambarkan inefisiensi. Karena sebuah usaha biaya produksinya mahal karena bunga (suku bunga acuan) 6% tapi jualannya kreditnya bisa sampe 12%, misalnya. Pengusaha ya inginnya jangan mahal-mahal dong," ucap Eko kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/1/2019).
NIM perbankan Indonesia juga dinilai termasuk paling tinggi dibanding bank-bank di Asia Tenggara yang berkisar hanya 1%-2%. NIM mereka tipis karena biaya yang lebih efisien akibat jaringan infrastruktur yang sudah bagus, jaringan satelit memadai, dan kondisi geografis yang bukan negara kepulauan.
"Masyarakatnya sudah akrab dengan uang elektronik, kartu kredit, sehingga biaya operasionalnya rendah. Kalau efisien, tidak mungkin jualan dengan kredit yang mahal. Kalau mahal, tidak ada yang mau pinjam kredit," ucapnya.
Lebih lanjut, NIM yang tinggi menggambarkan mahalnya biaya dana atau kredit. Sehingga, pengusaha akan lebih tergiur dengan alternatif yang lebih murah, misalnya obligasi dan saham. Biasanya, lanjut Eko, biaya untuk menerbitkan saham lebih murah.
"Tapi tidak semua perusahaan bisa terbitkan saham. Prosesnya ada beberapa indikator, misalnya tiga tahun terakhir tidak boleh rugi. Sehingga kalau bagi pengusaha menengah pilihannya ya perbankan." tandasnya.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) NIM diperkirakan masih akan tetap tinggi di tahun ini. Adapun pada tahun 2017 NIM perbankan berada di level 5,3%.
Direktur Group Risiko dan Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS Doddy Ariefianto membeberkan, NIM Indonesia terhitung tinggi karena biaya operasional yang relatif tinggi. Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan biaya transmisi dan SDM tinggi. Juga secara relatif risiko kredit lebih tinggi dibandingkan negara kawasan.
"Investor/pemegang saham tentu minta kompensasi atas risiko ini. Tapi saya lihat dengan persaingan dan moral suasion dari regulator ada trend NIM mulai menurun, meskipun perlahan," tandasnya.
(prm) Next Article Tahun Politik, Bank Mandiri Jaga Marjin di Level 5,6%-5,8%
NIM industri perbankan Indonesia ini dinilai tinggi bila dibandingkan angka di negara-negara kawasan ASEAN lainnya.
![]() |
Secara rinci, pada periode November 2018, NIM Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV tercatat sebesar 5,77%. NIM Bank BUKU I tercatat sebesar 5,60% dan NIM BUKU II 5,05%. Sementara, NIM Bank BUKU III ada di kisaran 4,20%, menurut data tersebut.
"Secara umum NIM yang tinggi itu menggambarkan inefisiensi. Karena sebuah usaha biaya produksinya mahal karena bunga (suku bunga acuan) 6% tapi jualannya kreditnya bisa sampe 12%, misalnya. Pengusaha ya inginnya jangan mahal-mahal dong," ucap Eko kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/1/2019).
NIM perbankan Indonesia juga dinilai termasuk paling tinggi dibanding bank-bank di Asia Tenggara yang berkisar hanya 1%-2%. NIM mereka tipis karena biaya yang lebih efisien akibat jaringan infrastruktur yang sudah bagus, jaringan satelit memadai, dan kondisi geografis yang bukan negara kepulauan.
"Masyarakatnya sudah akrab dengan uang elektronik, kartu kredit, sehingga biaya operasionalnya rendah. Kalau efisien, tidak mungkin jualan dengan kredit yang mahal. Kalau mahal, tidak ada yang mau pinjam kredit," ucapnya.
Lebih lanjut, NIM yang tinggi menggambarkan mahalnya biaya dana atau kredit. Sehingga, pengusaha akan lebih tergiur dengan alternatif yang lebih murah, misalnya obligasi dan saham. Biasanya, lanjut Eko, biaya untuk menerbitkan saham lebih murah.
"Tapi tidak semua perusahaan bisa terbitkan saham. Prosesnya ada beberapa indikator, misalnya tiga tahun terakhir tidak boleh rugi. Sehingga kalau bagi pengusaha menengah pilihannya ya perbankan." tandasnya.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) NIM diperkirakan masih akan tetap tinggi di tahun ini. Adapun pada tahun 2017 NIM perbankan berada di level 5,3%.
Direktur Group Risiko dan Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS Doddy Ariefianto membeberkan, NIM Indonesia terhitung tinggi karena biaya operasional yang relatif tinggi. Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan biaya transmisi dan SDM tinggi. Juga secara relatif risiko kredit lebih tinggi dibandingkan negara kawasan.
"Investor/pemegang saham tentu minta kompensasi atas risiko ini. Tapi saya lihat dengan persaingan dan moral suasion dari regulator ada trend NIM mulai menurun, meskipun perlahan," tandasnya.
(prm) Next Article Tahun Politik, Bank Mandiri Jaga Marjin di Level 5,6%-5,8%
Most Popular