Sederet Dampak Negatif dari Indonesia yang Manjakan Singapura

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 January 2019 18:11
Sederet Dampak Negatif dari Indonesia yang Manjakan Singapura
Foto: visitsingapore.in
Jakarta, CNBC Indonesia - Tax treaty (perjanjian pajak) antara Indonesia dengan Singapura menjadi polemik dalam beberapa waktu terakhir. Tax treaty yang dimaksud merujuk kepada persetujuan tentang penghindaran pajak dan pencegahan pengelakan pajak atas penghasilan yang diteken pada 8 Mei 1990 atau nyaris 29 tahun silam.

Aturan ini ditengarai membebaskan orang Indonesia dari pajak atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia jika membelinya melalui bank atau sekuritas asal Singapura. Sementara jika membeli menggunakan bank atau sekuritas asal Indonesia, dikenakan pajak penghasilan bunga obligasi sebesar 15%.

Berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia, hal ini benar adanya. Selama nyaris 29 tahun, pemerintah Indonesia memang memanjakan Singapura dalam hal pajak bunga obligasi.

Seorang pejabat pemerintah pun menilai bahwa tax treaty Indonesia-Singapura menjadi celah bagi para pencari keuntungan dengan membeli obligasi dalam negeri dengan menggunakan bank asal Singapura.

"Banyak pula investor asing yang hanya mencari return jangka pendek ini ada di SBN. Justru kebanyakan berasal dari Singapura. Mereka ini sebenarnya investor lokal yang menggunakan celah tax treaty dengan Singapura," ungkap seorang pejabat negara yang enggan disebutkan namanya ketika berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (9/10/2018).

Lantas, sudah saatnya Indonesia berhenti memanjakan Singapura. Pasalnya, ada kerugian yang harus ditanggung oleh Indonesia sendiri jika terus-menerus memanjakan Singapura.

NEXT >>>>



Efek negatif yang paling utama adalah industri jasa keuangan di tanah air menjadi tak mampu mencapai potensi terbaiknya. Selama ini, Kementerian Keuangan memberikan insentif berupa pajak penghasilan yang lebih rendah atas bunga obligasi yang diterima oleh Wajib Pajak reksa dana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Jika membeli obligasi melalui aset manajemen (reksa dana), pajaknya hanya sebesar 5%.

Tapi masalahnya, untuk apa orang-orang kaya di Indonesia membeli obligasi menggunakan bank, sekuritas, atau aset manajemen di tanah air sekalipun yang pajaknya hanya 5% jika membeli melalui bank atau sekuritas asal Singapura bebas pajak alias nol persen.

Pada tahun 2016, pemerintah sempat membuat gaduh kala berencana untuk menghapuskan pajak penghasilan atas bunga obligasi, walaupun kemudian urung terjadi. Pelaku industri aset manajemen kala itu resah lantaran jika pajak penghasilan atas bunga obligasi di-nolkan, maka daya saing industri aset manajemen akan menjadi berkurang.

Nah, memanjakan Singapura dengan mengizinkan pembeli obligasi melalui bank atau sekuritas asal Negeri Singa tidak membayar pajak adalah sama saja. Industri jasa keuangan di tanah air menjadi tak mampu mencapai potensi terbaiknya.

Padahal jika orang-orang kaya di Indonesia memanfaatkan seluruh lembaga keuangan yang ada di tanah air untuk membeli obligasi, multiplier effect yang tercipta akan menguntungkan Indonesia sendiri.

Volume transaksi obligasi yang lebih besar berpotensi meningkatkan pendapatan dari para pekerja di bank, sekuritas, ataupun aset manajemen di Indonesia. Melansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS), per agustus 2018 industri jasa keuangan dan asuransi di Indonesia memiliki sebanyak 1,8 juta pekerja. Kini, pemerintah balik lagi mengkaji kemungkinan penurunan pajak bunga obligasi. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan saat ini belum ada gambaran mengenai perubahan tarif pajak penghasilan untuk bunga obligasi, lantaran pengkajian mengenai penataannya masih terus dilakukan.

"Lagi dikaji juga karena pajak terhadap bunga obligasi berbagai lapis. Itu sedang dicoba ditata ulang," kata Robert di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (25/1/2019).

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan bahwa penting untuk mempertimbangkan dampak penurunan tarif pajak bunga obligasi, terutama untuk instrumen yang serupa, seperti deposito. Hal itu mengingat saat ini, pajak bunga deposito bahkan lebih tinggi yakni sebesar 20%.

Pertimbangan dari pemerintah tersebut sudah tepat. Jangan sampai deposito menjadi kalah menarik lantaran pajak bunga obligasi kelewat murah. Selain itu, seperti yang sudah disinggung di atas, daya saing dari industri aset manajemen perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Tapi balik lagi, tax treaty dengan Singapura harus direvisi. Harus ada level playing field yang setara antara Indonesia dengan Singapura. Katakanlah pajak bunga obligasi (untuk investor ritel yang membeli melalui bank atau sekuritas) diturunkan menjadi 10% atau bahkan 5%, tetap saja orang-orang kaya di Indonesia akan menggunakan trik lama dengan membeli obligasi pemerintah Indonesia melalui bank atau sekuritas asal Singapura.

Berbicara mengenai tax treaty Indonesia-Singapura, saat ini memang tengah dalam tahap revisi, bahkan disebut sudah memasuki tahap final.

"Lagi negosiasi, sudah lama. Negosiasinya mungkin sudah final stage nih," kata Robert di Gedung BEI, Jumat (25/1/2019).

Mari berharap Indonesia pada akhirnya berhenti memanjakan Singapura. Kalau hak istimewa yang sudah diberikan kepada Singapura selama nyaris 29 tahun terus berlanjut, maka industri jasa keuangan dalam negeri menjadi secara tak langsung terus dikekang oleh pemerintah.


TIM RISET CNBC INDONESIA




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular