Untung Harga Minyak Turun, Kalau Tidak Bisa Gawat Buat Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 January 2019 10:32
Untung Harga Minyak Turun, Kalau Tidak Bisa Gawat Buat Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat di kurs acuan. Penguatan rupiah sudah terjadi selama 2 hari beruntun, setelah 6 hari sebelumnya melemah. 

Pada Kamis (24/1/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.141. Rupiah menguat 0,33% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Kemarin, rupiah juga menguat 0,23% di kurs acuan. Sejak awal tahun, rupiah sudah menguat 2,35% di hadapan dolar AS. 

 

Penguatan rupiah juga terjadi di pasar spot. Pada pukul 10:08 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.150 di mana rupiah menguat 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan kemarin. 

Namun sejatinya penguatan rupiah agak melambat. Kala pembukaan pasar spot, rupiah menguat 0,32% dan sempat menebal ke kisaran 0,4%. 


Meski begitu, prestasi rupiah cukup membanggakan. Pasalnya, kini sebagian besar mata uang utama justru melemah di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya yen Jepang, yuan China, dan dolar Singapura yang mampu menguat. 

Bukan hanya itu, penguatan rupiah juga masih yang terbaik di Asia. Belum ada mata uang Benua Kuning lainnya yang menguat setajam rupiah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:11 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah bisa bertahan di zona hijau karena dukungan harga minyak yang masih terkoreksi. Pada pukul 10:12 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,38% dan light sweet berkurang 0,38%. 


Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah. 

Defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. 

Sementara mata uang Asia lainnya tampak tidak mampu melawan sentimen negatif yang menyelimuti regional. Angka pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Jepang versi Nikkei pada Januari 2018 berada di 50.  

Masih optimistis karena angkanya pas di 50, tetapi optimisme dunia usaha di Negeri Matahari Terbit menurun dibandingkan bulan sebelumnya di mana PMI tercatat 52,6. Penurunan PMI di Jepang juga menjadi yang pertama sejak Agustus 2016. 

Data ini sejalan dengan rilis kemarin, yaitu perlambatan ekspor Jepang. Pada  Desember 2018, ekspor Jepang terkontraksi alias minus 3,8% year-on-year (YoY). Ini menjadi kontraksi terdalam sejak Oktober 2016. 


Melihat perkembangan di Jepang, wajar jika pelaku pasar menjadi ketar-ketir. Apalagi sebelumnya sudah ada perkiraan bahwa Jepang terancam resesi. 


Data lain yang membuat pelaku pasar enggan mengambil risiko adalah suku bunga acuan di Korea Selatan. Bank Sentral Negeri Ginseng (BoK) mempertahankan suku bunga acuan di 1,75%. 

Kemudian BoK juga memberi sinyal-sinyal negatif. BoK memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Korea Selatan untuk 2019 dari 2,7% menjadi 2,6%. Laju inflasi yang sedianya diperkirakan 1,7% juga melambat menjadi 1,4%. 

"Pertumbuhan ekonomi akan bergerak di bawah proyeksi, tetapi tidak signifikan. Pasar tenaga kerja masih menunjukkan adanya perlambatan," sebut Lee Ju Yeol, Gubernur BoK, mengutip Reuters. 

Well, rupiah beruntung karena harga minyak masih turun. Kalau tidak ada penurunan harga minyak maka mungkin saja rupiah akan mengikuti mata uang Asia lainnya yang berada di jalur merah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular