
Di Balik Transaksi Jumbo MABA dan ABMA, Ada Apa?
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
20 January 2019 20:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumbo.Satu kata tersebutlah yang terlintas ketika melihat transaksi negosiasi saham PT Marga Abhinaya Abadi Tbk (MABA) senilai Rp 14,34 triliun yang mendongkrak nilai transaksi PT Pacific Capital Sekuritas sepanjang Desember.
Jual-beli saham yang terjadi pada 18-19 Desember lalu tersebut tentu membuat kita terpana karena transaksi negosiasi bernilai jumbo tersebut jarang dilakukan oleh Pacific Capital.
Pacific Capital Sekuritas merupakan perusahaan efek yang sahamnya dimiliki PT Pacific Strategic Finance Tbk (APIC), yang dulunya bernama PT Pan Pacific International Tbk. Induk APIC adalah PT Pan Pacific Investama.
Sebelumnya, sangatlah jarang Pacific Sekuritas berada dalam daftar 20 perusahaan efek terbesar, baik dari sisi nilai transaksi maupun frekuensi pada periode bulanan maupun tahunan.
Transaksi pun terjadi pada saham perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar (market capitalization) yang jauh lebih kecil dari setengah transaksi itu, yaitu cuma Rp 5,8 triliun-Rp 5,9 triliun (saat itu harga saham Rp 378-Rp 384 per unit).
Terkait dengan Marga Abhinaya Abadi, perusahaan yang didirikan dengan nama PT Lintas Insana Wisesa pada 2009 itu merupakan perusahaan pembangunan properti, perhotelan, dan restoran milik PT Saligading Bersama (SGB).
Saligading Bersama didirikan oleh mantan direktur utama PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) periode 2004-2011 Musyanif bersama beberapa koleganya dari salah satu BUMN karya tersebut.
Posisi harga terakhir tadi malam, harga saham MABA Rp 174 dan berkapitalisasi pasar yang tinggal Rp 2,67 triliun, karena sebelumnya saham perseroan pernah menyenggol Rp 2.590 pada 26 Juli 2017.
Kenaikan harga sahamnya tersebut juga hanya berselang sekitar sebulan setelah MABA mencatatkan sahamnya (listing) di bursa pada 22 Juni tahun yang sama.
Ketika IPO, harga sahamnya ditetapkan Rp 112 dan mencerminkan kenaikan sahamnya hingga level tertinggi Rp 2.590 tadi dengan level fantastis yaitu hingga 2.212%.
Ini jumbo kedua. Kembali ketika IPO, MABA hanya menawarkan 474 juta sahamnya kepada publik dengan raihan dana Rp 53,08 miliar, bersamaan juga dengan aksi menukarkan utangnya menjadi 711 juta saham senilai Rp 79,63 miliar.
Nilai jumbo lain yang dapat ditemui dari perusahaan adalah aksi korporasinya setelah sahamnya tercatat di bursa, yaitu menambah modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD/rights issue) bernilai jumbo juga pada akhir 2017.
Dalam hajatan kali itu, perusahaan menerbitkan 15 juta saham (253,16% dari modal disetor MABA) di harga Rp 282,6 untuk membeli 5,9 miliar (98,34%) saham perusahaan afiliasi yaitu PT Anugerah Berkah Madani (ABMA) dari Saligading Bersama pada 27 Desember 2017.
Mayoritas dana rights issue akan digunakan untuk pembelian Rp 2,65 triliun terhadap ABMA oleh MABA, perusahaan yang pada Juni 2017 hanya beraset Rp 734,23 miliar. Meskipun ada potensi pihak lain mengeksekusi haknya, transaksi itu menggunakan mekanisme inbreng yang menarik karena terjadi di antara dua entitas yang sama-sama dimiliki Saligading Bersama.
Saligading Bersama memiliki 5,9 milar (99%) saham Anugerah Berkah Madani.
Transaksi inbreng berarti transaksi tanpa dana kas karena induk ABMA-MABA yaitu Saligading Bersama akan mengesekusi seluruh haknya dalam rights issue.
Dalam keterbukaan rencana rights issue, ABMA tercatat memiliki tiga anak usaha (CBRR, SAS, CSM) dengan total aset Rp 1,57 triliun, meskipun total aset perusahaan tercatat Rp 1,54 triliun.
Perusahaan mencatatkan saldo rugi Rp 297,86 miliar (Jun 2017) dan saldo rugi Rp 61,77 miliar (Dec 2015), serta rugi bersih Rp 120,24 miliar (Jun 2017) dan rugi bersih Rp 115,24 miliar (Dec 2015).
Pernah IPO Tapi Gagal Listing
Beralih ke hal jumbo keempat, yaitu setelah diingat-ingat, setahun sebelum rights issue, ABMA pernah menggelar penawaran sahamnya sendiri di pasar saham dan ingin mencatatkan sahamnya di papan bursa, meskipun akhirnya berhenti di tengah jalan.
Saat itu, perusahaan menawarkan 3,33 miliar (25%) sahamnya di harga Rp 800- Rp 1.250 kepada publik sehingga berpotensi mendapatkan dana Rp 2,66 triliun-Rp 4,16 triliun.
Dengan nilai tersebut, maka nilai 100% perusahaan adalah Rp 10,65 triliun-Rp 16,65 triliun.
Modal utama perusahaan adalah aset Rp 2,44 triliun, di mana Rp 2,29 triliun di antaranya berupa persediaan aset real estat serta modal ekuitas Rp 975,59 miliar per Maret 2016.
Kinerja perseroan juga terlihat rapi dan menjanjikan, terlihat dari pendapatan Rp 137,59 miliar dan laba atribusi entitas induk Rp 26,5 miliar pada periode yang sama.
Angka kinerja laba untuk kinerja setahun 2013, 2014, dan 2015 pun merangkak naik, masing-masing Rp 3,94 miliar, Rp 16,48 miliar, dan Rp 41,68 miliar.
Namun, yang menarik adalah saldo laba (rugi) minus Rp 37,5 miliar di bagian ekuitas pada Maret 2016, berlanjut memerah dari saldo laba (rugi) minus Rp 123,34 miliar, Rp 106,37 miliar, dan Rp 64,01 miliar pada akhir 2013, 2014, dan 2015. Namun, hal tersebut masih terbilang wajar.
Perbedaan Laporan Keuangan
Hal jumbo kelima dan terakhir yang perlu dicermati adalah perbedaan antara angka di periode yang sama di beberapa pos akun ABMA dari dua laporan keuangan di prospektus IPO ABMA dan keterbukaan rights issue MABA, mengulang dan memperhatikan beberapa hal di atas.
Pertama adalah aset. Meskipun dapat berubah seiring waktu, tetapi aset ABMA berubah pada periode Desember 2015.
Ketika IPO, aset perusahaan Rp 2,5 triliun dan memiliki tujuh anak usaha per Desember 2015. Ketika rights issue MABA, per Desember 2015 aset ABMA tinggal Rp 1,86 triliun.
Dalam prospektus IPO, ABMA punya saldo rugi Rp 37,5 miliar (Maret 2016) dan saldo rugi Rp 64,01 miliar (Dec 2015). Namun, dalam keterbukaan rights issue MABA, saldo rugi ABMA Rp 297,86 miliar (Jun 2017) dan saldo rugi Rp 61,77 miliar (Dec 2015).
Mudah-mudahan kedua perusahaan memiliki alasan jelas terkait dengan perbedaan angka tersebut guna menghilangkan ke-kepo-an bagi yang membuka kembali informasi dari aksi korporasi dua entitas milik Grup Saligading Bersama tersebut.
Namun, yang pasti, pasca konsolidasi kedua perusahaan, kinerja MABA juga tidak membaik, ditunjukkan oleh rugi bersih yang masih didera perusahaan pada Desember 2017 Rp 32,25 miliar dan justru semakin memburuk pada akhir September 2018 senilai Rp 53,33 miliar.
Meskipun demikian, tentunya, ke depannya kinerja kedua perusahaan sedarah pemilik Apartemen Nifarro ini masih bisa lebih baik lagi dan dapat saling kompak membantu daripada sekarang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/gus) Next Article IHSG Turun Tipis 0,1%, Berikut 5 Saham Paling Aktif
Jual-beli saham yang terjadi pada 18-19 Desember lalu tersebut tentu membuat kita terpana karena transaksi negosiasi bernilai jumbo tersebut jarang dilakukan oleh Pacific Capital.
Sebelumnya, sangatlah jarang Pacific Sekuritas berada dalam daftar 20 perusahaan efek terbesar, baik dari sisi nilai transaksi maupun frekuensi pada periode bulanan maupun tahunan.
Transaksi pun terjadi pada saham perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar (market capitalization) yang jauh lebih kecil dari setengah transaksi itu, yaitu cuma Rp 5,8 triliun-Rp 5,9 triliun (saat itu harga saham Rp 378-Rp 384 per unit).
Terkait dengan Marga Abhinaya Abadi, perusahaan yang didirikan dengan nama PT Lintas Insana Wisesa pada 2009 itu merupakan perusahaan pembangunan properti, perhotelan, dan restoran milik PT Saligading Bersama (SGB).
Saligading Bersama didirikan oleh mantan direktur utama PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) periode 2004-2011 Musyanif bersama beberapa koleganya dari salah satu BUMN karya tersebut.
Posisi harga terakhir tadi malam, harga saham MABA Rp 174 dan berkapitalisasi pasar yang tinggal Rp 2,67 triliun, karena sebelumnya saham perseroan pernah menyenggol Rp 2.590 pada 26 Juli 2017.
Kenaikan harga sahamnya tersebut juga hanya berselang sekitar sebulan setelah MABA mencatatkan sahamnya (listing) di bursa pada 22 Juni tahun yang sama.
Ketika IPO, harga sahamnya ditetapkan Rp 112 dan mencerminkan kenaikan sahamnya hingga level tertinggi Rp 2.590 tadi dengan level fantastis yaitu hingga 2.212%.
Ini jumbo kedua. Kembali ketika IPO, MABA hanya menawarkan 474 juta sahamnya kepada publik dengan raihan dana Rp 53,08 miliar, bersamaan juga dengan aksi menukarkan utangnya menjadi 711 juta saham senilai Rp 79,63 miliar.
Nilai jumbo lain yang dapat ditemui dari perusahaan adalah aksi korporasinya setelah sahamnya tercatat di bursa, yaitu menambah modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD/rights issue) bernilai jumbo juga pada akhir 2017.
Dalam hajatan kali itu, perusahaan menerbitkan 15 juta saham (253,16% dari modal disetor MABA) di harga Rp 282,6 untuk membeli 5,9 miliar (98,34%) saham perusahaan afiliasi yaitu PT Anugerah Berkah Madani (ABMA) dari Saligading Bersama pada 27 Desember 2017.
Mayoritas dana rights issue akan digunakan untuk pembelian Rp 2,65 triliun terhadap ABMA oleh MABA, perusahaan yang pada Juni 2017 hanya beraset Rp 734,23 miliar. Meskipun ada potensi pihak lain mengeksekusi haknya, transaksi itu menggunakan mekanisme inbreng yang menarik karena terjadi di antara dua entitas yang sama-sama dimiliki Saligading Bersama.
Saligading Bersama memiliki 5,9 milar (99%) saham Anugerah Berkah Madani.
Transaksi inbreng berarti transaksi tanpa dana kas karena induk ABMA-MABA yaitu Saligading Bersama akan mengesekusi seluruh haknya dalam rights issue.
Dalam keterbukaan rencana rights issue, ABMA tercatat memiliki tiga anak usaha (CBRR, SAS, CSM) dengan total aset Rp 1,57 triliun, meskipun total aset perusahaan tercatat Rp 1,54 triliun.
Perusahaan mencatatkan saldo rugi Rp 297,86 miliar (Jun 2017) dan saldo rugi Rp 61,77 miliar (Dec 2015), serta rugi bersih Rp 120,24 miliar (Jun 2017) dan rugi bersih Rp 115,24 miliar (Dec 2015).
Pernah IPO Tapi Gagal Listing
Beralih ke hal jumbo keempat, yaitu setelah diingat-ingat, setahun sebelum rights issue, ABMA pernah menggelar penawaran sahamnya sendiri di pasar saham dan ingin mencatatkan sahamnya di papan bursa, meskipun akhirnya berhenti di tengah jalan.
Saat itu, perusahaan menawarkan 3,33 miliar (25%) sahamnya di harga Rp 800- Rp 1.250 kepada publik sehingga berpotensi mendapatkan dana Rp 2,66 triliun-Rp 4,16 triliun.
Dengan nilai tersebut, maka nilai 100% perusahaan adalah Rp 10,65 triliun-Rp 16,65 triliun.
Modal utama perusahaan adalah aset Rp 2,44 triliun, di mana Rp 2,29 triliun di antaranya berupa persediaan aset real estat serta modal ekuitas Rp 975,59 miliar per Maret 2016.
Kinerja perseroan juga terlihat rapi dan menjanjikan, terlihat dari pendapatan Rp 137,59 miliar dan laba atribusi entitas induk Rp 26,5 miliar pada periode yang sama.
Angka kinerja laba untuk kinerja setahun 2013, 2014, dan 2015 pun merangkak naik, masing-masing Rp 3,94 miliar, Rp 16,48 miliar, dan Rp 41,68 miliar.
Namun, yang menarik adalah saldo laba (rugi) minus Rp 37,5 miliar di bagian ekuitas pada Maret 2016, berlanjut memerah dari saldo laba (rugi) minus Rp 123,34 miliar, Rp 106,37 miliar, dan Rp 64,01 miliar pada akhir 2013, 2014, dan 2015. Namun, hal tersebut masih terbilang wajar.
Perbedaan Laporan Keuangan
Hal jumbo kelima dan terakhir yang perlu dicermati adalah perbedaan antara angka di periode yang sama di beberapa pos akun ABMA dari dua laporan keuangan di prospektus IPO ABMA dan keterbukaan rights issue MABA, mengulang dan memperhatikan beberapa hal di atas.
Pertama adalah aset. Meskipun dapat berubah seiring waktu, tetapi aset ABMA berubah pada periode Desember 2015.
Ketika IPO, aset perusahaan Rp 2,5 triliun dan memiliki tujuh anak usaha per Desember 2015. Ketika rights issue MABA, per Desember 2015 aset ABMA tinggal Rp 1,86 triliun.
Dalam prospektus IPO, ABMA punya saldo rugi Rp 37,5 miliar (Maret 2016) dan saldo rugi Rp 64,01 miliar (Dec 2015). Namun, dalam keterbukaan rights issue MABA, saldo rugi ABMA Rp 297,86 miliar (Jun 2017) dan saldo rugi Rp 61,77 miliar (Dec 2015).
Mudah-mudahan kedua perusahaan memiliki alasan jelas terkait dengan perbedaan angka tersebut guna menghilangkan ke-kepo-an bagi yang membuka kembali informasi dari aksi korporasi dua entitas milik Grup Saligading Bersama tersebut.
Namun, yang pasti, pasca konsolidasi kedua perusahaan, kinerja MABA juga tidak membaik, ditunjukkan oleh rugi bersih yang masih didera perusahaan pada Desember 2017 Rp 32,25 miliar dan justru semakin memburuk pada akhir September 2018 senilai Rp 53,33 miliar.
Meskipun demikian, tentunya, ke depannya kinerja kedua perusahaan sedarah pemilik Apartemen Nifarro ini masih bisa lebih baik lagi dan dapat saling kompak membantu daripada sekarang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/gus) Next Article IHSG Turun Tipis 0,1%, Berikut 5 Saham Paling Aktif
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular