Neraca Dagang Boleh Tekor, Tapi Rupiah Tetap Terbaik di Asia!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 January 2019 12:40
Neraca Dagang Boleh Tekor, Tapi Rupiah Tetap Terbaik di Asia!
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih mantap di zona hijau. Namun penguatan rupiah memang sedikit tergerus karena sentimen domestik. 

Pada Selasa (15/1/2019) pukul 12:05 WIB, US$ 1 di perdagangan pasar spot setara dengan Rp 14.085. Rupiah menguat 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Padahal rupiah dibuka menguat 0,28%, dan kemudian penguatannya sempat menebal hingga ke kisaran 0,3%. Namun laju rupiah agak melambat setelah rilis data perdagangan internasional. 


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada Desember 2018 terkontraksi alias minus 4,62% year-on-year (YoY). Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, yang memperkirakan masih ada pertumbuhan 1,81% YoY. 

Sementara impor bulan lalu tumbuh 1,16% YoY. Di bawah ekspektasi yang memperkirakan tumbuh 6,345%. 

Hasilnya adalah neraca perdagangan Desember 2018 membukukan defisit US$ 1,1 miliar. Sedikit di atas konsensus pasar yang memperkirakan US$ 968 juta. 

Defisit ini memastikan neraca perdagangan sepanjang kuartal IV-2018 selalu tekor. Oleh karena itu, transaksi berjalan kemungkinan besar akan defisit lumayan dalam pada kuartal IV-2018.  

Ini tentu menjadi kabar buruk buat rupiah, karena fundamental penyokong mata uang ini menjadi rapuh. Minimnya pasokan devisa berjangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa membuat mata uang ini rentan 'digoyang'. 

Meski apresiasi rupiah menipis, tetapi tidak membuat mata uang Tanah Air tergoyahkan dari singgasana raja Asia. Ya, penguatan 0,25% masih cukup untuk menjadikan rupiah sebagai mata uang terbaik di Benua Kuning. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:11 WIB: 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sentimen positif eksternal yang membludak menjadi penopang kinerja rupiah. Begitu banyak berita baik sehingga investor tidak mau bermain aman, arus modal mengalir deras ke instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. 

Pertama, hawa damai dagang AS-China semakin jelas terasa. Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa perundingan dagang dengan Negeri Tirai Bambu berjalan lancar dan kesepakatan kemungkinan besar bisa dicapai. 

"Hubungan dengan China sangat baik. Saya rasa kami bisa mencapai kesepakaatan dengan China," ujar Trump kepada wartawan di Gedung Putih, dikutip dari Reuters. 

Kedua, pemerintah dan Bank Sentral China (PBoC) menyatakan komitmen untuk menjaga perekonomian Negeri Panda agar tidak mengalami hard landing. Reuters mengabarkan Beijing menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 6-6,5%. Melambat dibandingkan tahun lalu yang diperkirakan 6,6%, tetapi masih agak smooth

Agar ekonomi tidak terlalu terpuruk, pemerintah dan bank sentral akan menggelontorkan berbagai kebijakan counter-cyclical. Stimulus tetap akan dikucurkan, meski menurut Wakil Ketua Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China Lian Weiliang tidak sampai berlebihan. 

Investor sepertinya menanggapi positif arah kebijakan fiskal dan moneter ini. Pelaku pasar kini bisa tenang, pemerintah dan bank sentral China akan mengawal pertumbuhan ekonomi agar tidak terlampau lambat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Ketiga, Richard Clarida, Wakil Gubernur The Federal Reserve/The Fed, menyatakan bank sentral AS akan lebih sabar dalam menentukan arah kebijakan moneter. Sang The Fed-2 menyatakan perekonomian Negeri Paman Sam masih tumbuh baik, tetapi ada risiko di luar yang tidak bisa dikesampingkan. 

"Kami bisa sabar pada 2019, ada momentum untuk itu. Bank sentral akan menentukan suku bunga acuan di setiap rapat dengan mengacu kepada data. Kami akan melihat perkembangan ekonomi global, dan beberapa data menunjukkan ada perlambatan," papar Clarida dalam wawancara di Fox Business, mengutip Reuters. 

Pernyataan Clarida semakin menegaskan bahwa The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Pelaku pasar memperkirakan setidaknya sampai semester-I tidak akan ada kenaikan Federal Funds Rate. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate untuk ditahan di 2,25-2,5% pada rapat 30 Januari mencapai 99,5%. Kemudian pada rapat 20 Maret, kemungkinan suku bunga untuk kembali ditahan juga 99,5%. 

Pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Mei, kemungkinan Federal Funds Rate tetap juga masih sangat tinggi yaitu 91,5%. Lalu pada rapat Juni, probabilitasnya mulai turun tetapi masih tinggi di 82,4%. 

Tanpa dorongan suku bunga, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang pemanis. Dolar AS pun perlahan tetapi pasti kehilangan statusnya sebagai raja mata uang dunia, gelar yang diperoleh pada 2018. Tahun ini, sepertinya dolar AS akan berada dalam posisi defensif dan ini menguntungkan mata uang Asia seperti rupiah. 

Keempat, Chosun Ilbo, harian di Korea Selatan, mengabarkan AS dan Korea Utara akan mengadakan pertemuan di Washington pekan ini untuk membahas rencana dialog Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Pertemuan di Washington pekan ini akan melibatkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Wakil Ketua Partai Pekerja Korea Utara Kim Yong Chol, tulis Chosun Ilbo dikutip dari Reuters.  


Kabar ini semakin meyakinkan pasar bahwa denuklirisasi dan perdamaian di Semenanjung Korea bukan sebuah harapan kosong. Aura damai di Korea membuat investor semakin berani mengambil risiko, tidak ada istilah bermain aman.

Situasi ini tentu sangat mendukung penguatan rupiah. Sentimen positif eksternal yang begitu banyak berhasil menopang performa mata uang Tanah Air. Kalau hanya mengandalkan sentimen dalam negeri, yang nadanya negatif, bisa jadi rupiah tidak sekuat sekarang. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular