Rupiah Tak Kuasa Melawan Takdir

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 January 2019 12:34
Rupiah Tak Kuasa Melawan Takdir
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Aristya Rahadian Krisabella)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah di perdagangan pasar spot hingga tengah hari ini. Sentimen eksternal dan domestik memang tidak ada yang mendukung keperkasaan rupiah. 

Pada Senin (14/1/2019) pukul 12:02 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 14.085. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Mengawali hari, rupiah sebenarnya menguat 0,07%. Namun rupiah seakan sulit melawan takdir sehingga tidak mampu bertahan lama di zona hijau. Tidak sampai 1 jam setelah pembukaan pasar, rupiah sudah melemah. 


Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam. Bahkan rupiah masuk jajaran mata uang terlemah di Asia. 

Dengan depresiasi 0,32%, rupiah kini menduduki peringkat ketiga dari bawah klasemen mata uang Benua Kuning. Posisi buncit sekarang ditempati oleh rupee India, disusul won Korea Selatan, dan rupiah. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:06 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mayoritas mata uang Asia melemah terhadap dolar AS, kecuali yen Jepang dan yuan China. Ini menandakan faktor eksternal sepertinya lebih berperan dalam depresiasi rupiah. 

Tidak hanya mata uang, pasar saham Benua Kuning juga dihiasi warna merah. Pada pukul 12:09 WIB, indeks Shanghai Composite melemah 0,56%, Hang Seng anjlok 1,38%, Kospi minus 0,65%, Straits Times turun 0,42%, KLCI (Malaysia) berkurang 0,43%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 0,86%. IHSG menjadi bursa saham dengan koreksi terdalam kedua di Asia. 

Investor asing terlihat enggan masuk ke bursa saham Indonesia. Pada akhir perdagangan Sesi I, investor asing membukukan jual bersih Rp 53,19 miliar. 

Ada beberapa hal yang membuat pelaku pasar agak emoh masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Pertama, investor tengah cemas menantikan perkembangan di Inggris. Pada 15 Januari waktu setempat, parlemen Inggris akan menggelar voting untuk menerima atau menolak proposal Brexit yang disusun pemerintahan Perdana Menteri Theresa May. 

Di tengah upaya May meraih simpati parlemen, posisinya juga digoyang oleh Partai Buruh. Jeremy Corbyn, Pemimpin Partai Buruh, menegaskan bahwa pihaknya akan mendorong pelaksanaan pemilu yang dipercepat yaitu pada Februari atau Maret. Sedianya pemilu di Negeri Ratu Elizabeth baru dilakukan pada 2022. 

Jika kemudian dalam Pemilu tersebut Partai Buruh menjadi pemenang, maka Corbyn mengusulkan negosiasi ulang dengan Brussel. Dia menilai masih ada waktu sebelum Inggris resmi berpisah dengan Uni Eropa pada 29 Maret mendatang. 

"Pemilu akan berlangsung pada Februari atau Maret? Jadi jelas ada waktu beberapa pekan untuk melakukan negosiasi," kata Corbyn dalam wawancara dengan BBC. 

Ketidakpastian politik di Inggris ini membuat pasar memilih bermain aman. Pelaku pasar lebih menyukai instrumen aman (safe haven) seperti yen Jepang. Aset-aset berisiko di negara berkembang seperti Indonesia mengalami tekanan jual. 


Kedua, data ekonomi China yang mengecewakan. Biro Statistik Nasional Negeri Tirai Bambu mencatat ekspor pada Desember 2018 terkontraksi alias minus 4,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang masih tumbuh 5,4%. 

Impor juga mengalami kontraksi yang lebih dalam yaitu minus 7,6%. Jauh dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu tumbuh 3%. 

Hasilnya adalah neraca perdagangan China mencatat surplus US$ 351,76 miliar. Meski masih surplus, tetapi menjadi yang terendah sejak 2013. 

Data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa perekonomian China sedang melambat. Bank Dunia memperkirakan ekonomi China pada 2018 tumbuh 6,6%. Untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi China diproyeksi melambat menjadi 6,2%. 

China adalah perekonomian terbesar kedua dunia dan nomor 1 di Asia. Perlambatan ekonomi China akan mempengaruhi negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia. Sebab, China adalah mitra dagang utama Indonesia.

Jika permintaan dari China berkurang karena perlambatan ekonomi, maka ekspor Indonesia akan ikut terancam. Ekspor akan sulit untuk bangkit sehingga membebani pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari dalam negeri, rupiah memang rentan melemah karena sebelumnya sudah menguat sangat tajam. Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 1,58% di hadapan dolar AS. Sejak awal tahun, rupiah sudah terapresiasi 2,26% di hadapan dolar AS. 

Ini membuat rupiah rentan terserang koreksi teknikal. Penguatan rupiah yang sedemikian tajam membuat investor merasa tergoda untuk mencairkan laba. Aksi jual membayangi rupiah, sehingga rentan mengalami depresiasi. 

Kemudian, investor juga memperkirakan neraca perdagangan Indonesia yang diumumkan esok hari masih akan mencatat defisit. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan pada Desember 2018 tekor US$ 1 miliar.

Apabila terwujud, maka neraca perdagangan mengalami defisit selama kuartal IV-2018. Pada Oktober, neraca perdagangan minus US$ 1,82 miliar dan sebulan kemudian negatif US$ 2,05 miliar.

Artinya, transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 kemungkinan besar masih membukukan defisit yang dalam. Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan kuartal lalu masih di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Prospek transaksi berjalan yang suram bisa jadi membuat investor berpikir ulang untuk mengoleksi aset berbasis rupiah. Sebab saat defisit transaksi berjalan semakin parah, maka fundamental penyokong rupiah akan kian rapuh sehingga mata uang Tanah Air berpotensi untuk melemah lebih lanjut. Investor tentu enggan memegang aset yang nilainya berpotensi turun.

Serangkaian faktor eksternal dan domestik tersebut membuat rupiah memang wajar melemah. Penguatan rupiah kala pembukaan pasar seolah melawan takdir, dan yang namanya takdir tidak bisa dilawan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular