Rupiah Tak Kuasa Melawan Takdir

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 January 2019 12:34
Brexit dan Data Ekonomi China Bebani Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Mayoritas mata uang Asia melemah terhadap dolar AS, kecuali yen Jepang dan yuan China. Ini menandakan faktor eksternal sepertinya lebih berperan dalam depresiasi rupiah. 

Tidak hanya mata uang, pasar saham Benua Kuning juga dihiasi warna merah. Pada pukul 12:09 WIB, indeks Shanghai Composite melemah 0,56%, Hang Seng anjlok 1,38%, Kospi minus 0,65%, Straits Times turun 0,42%, KLCI (Malaysia) berkurang 0,43%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 0,86%. IHSG menjadi bursa saham dengan koreksi terdalam kedua di Asia. 

Investor asing terlihat enggan masuk ke bursa saham Indonesia. Pada akhir perdagangan Sesi I, investor asing membukukan jual bersih Rp 53,19 miliar. 

Ada beberapa hal yang membuat pelaku pasar agak emoh masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Pertama, investor tengah cemas menantikan perkembangan di Inggris. Pada 15 Januari waktu setempat, parlemen Inggris akan menggelar voting untuk menerima atau menolak proposal Brexit yang disusun pemerintahan Perdana Menteri Theresa May. 

Di tengah upaya May meraih simpati parlemen, posisinya juga digoyang oleh Partai Buruh. Jeremy Corbyn, Pemimpin Partai Buruh, menegaskan bahwa pihaknya akan mendorong pelaksanaan pemilu yang dipercepat yaitu pada Februari atau Maret. Sedianya pemilu di Negeri Ratu Elizabeth baru dilakukan pada 2022. 

Jika kemudian dalam Pemilu tersebut Partai Buruh menjadi pemenang, maka Corbyn mengusulkan negosiasi ulang dengan Brussel. Dia menilai masih ada waktu sebelum Inggris resmi berpisah dengan Uni Eropa pada 29 Maret mendatang. 

"Pemilu akan berlangsung pada Februari atau Maret? Jadi jelas ada waktu beberapa pekan untuk melakukan negosiasi," kata Corbyn dalam wawancara dengan BBC. 

Ketidakpastian politik di Inggris ini membuat pasar memilih bermain aman. Pelaku pasar lebih menyukai instrumen aman (safe haven) seperti yen Jepang. Aset-aset berisiko di negara berkembang seperti Indonesia mengalami tekanan jual. 


Kedua, data ekonomi China yang mengecewakan. Biro Statistik Nasional Negeri Tirai Bambu mencatat ekspor pada Desember 2018 terkontraksi alias minus 4,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang masih tumbuh 5,4%. 

Impor juga mengalami kontraksi yang lebih dalam yaitu minus 7,6%. Jauh dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu tumbuh 3%. 

Hasilnya adalah neraca perdagangan China mencatat surplus US$ 351,76 miliar. Meski masih surplus, tetapi menjadi yang terendah sejak 2013. 

Data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa perekonomian China sedang melambat. Bank Dunia memperkirakan ekonomi China pada 2018 tumbuh 6,6%. Untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi China diproyeksi melambat menjadi 6,2%. 

China adalah perekonomian terbesar kedua dunia dan nomor 1 di Asia. Perlambatan ekonomi China akan mempengaruhi negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia. Sebab, China adalah mitra dagang utama Indonesia.

Jika permintaan dari China berkurang karena perlambatan ekonomi, maka ekspor Indonesia akan ikut terancam. Ekspor akan sulit untuk bangkit sehingga membebani pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular