
Perhatikan Lima Sentimen Utama Penggerak Bursa Pekan Depan
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 January 2019 21:45

Sentimen ketiga muncul dari Uni Eropa (UE), khususnya Inggris, yang pada Rabu malam (dini hari waktu Indonesia) akan mengadakan voting bersejarah di parlemen untuk memuluskan rencana Perdana Menteri Theresa May untuk minggat dari UE.
May memerlukan dukungan dari setidaknya 320 anggota parlemen agar proposal Brexit yang diusungnya mulus. Namun, menurut laporan CNBC, belum ada naga-naga dukungan dari pihak oposisi, yakni Partai Buruh.
Jika voting kali ini gagal, maka pemerintah hanya punya waktu tiga hari kerja untuk mengajukan proposal baru. Jika masih ditolak, maka May berpeluang mundur dari posisinya, muncul referendum kedua di Inggris terkait keanggotaan di UE, atau bahkan pemilihan umum.
Sentimen keempat bakal muncul dari dalam negeri di mana pelaku pasar mencermati hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis. Sejauh ini, pasar memperkirakan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate bakal dipertahankan di level 6%.
Jika ada perubahan drastis, maka pasar akan bereaksi negatif karena sejauh ini secara fundamental belum ada kebutuhan mendesak untuk itu. Rupiah menguat 2,3% sepanjang awal tahun ini dari Rp 14.375 per dolar AS menjadi Rp 14.040.
Di sisi lain, sikap bank sentral AS cenderung kurang agresif sehingga sebagian pelaku pasar di Wall Street memperkirakan bahwa rencana kenaikan Fed Fund Rate bakal berkurang menjadi dua kali, dari sebelumnya tiga kali. Sebagian lain bahkan bertaruh Fed Rate bakal flat pada 2019.
Kecenderungan tersebut bakal mendapatkan basis dukungannya pada Kamis waktu setempat, menyusul rilis klaim awal pengangguran AS per Januari. Konsensus Refinitiv memperkirakan klaim awal penggangguran naik menjadi 220.000 dari angka sebelumnya 216.000.
Sebelumnya, Gubernur Fed Jerome Powell menyebutkan pihaknya akan mencermati efek kebijakan fiskal Presiden Donald Trump terhadap pembukaan lapangan pekerjaan, sebagai salah satu variabel penentuan arah suku bunga acuan Negara Adidaya tersebut.
Sentimen terkuat kelima masih seputar shutdown (penghentian layanan) pemerintah AS menyusul sikap ngotot Trump untuk memasukkan bujet pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko yang dikhawatirkan mulai memukul sektor ritel negara itu.
Shutdown di era Trump ini telah menginjak hari ke-20, menjadi yang terpanjang dalam 40 tahun terakhir, mendekati rekor shutdown pada pemerintahan Bill Clinton, yakni selama 21 hari pada 5 Desember 1995-6 Januari 1996.
Perusahaan pemeringkat S&P Global Ratings menilai ongkos ekonomi shutdown di atas 20 hari akan mencapai US$6 miliar, atau jauh lebih mahal dari proposal dana pembangunan tembok yang diajukan Trump sebesar US$5,7 miliar.
Sektor ritel paling terpukul karena 800.000 orang PNS AS kehilangan daya belinya. Sebagaimana diketahui, 70% perekonomian AS disumbangkan oleh konsumsi. JP Morgan pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 25 basis poin di kuartal I/2019 menjadi hanya 2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
May memerlukan dukungan dari setidaknya 320 anggota parlemen agar proposal Brexit yang diusungnya mulus. Namun, menurut laporan CNBC, belum ada naga-naga dukungan dari pihak oposisi, yakni Partai Buruh.
Jika voting kali ini gagal, maka pemerintah hanya punya waktu tiga hari kerja untuk mengajukan proposal baru. Jika masih ditolak, maka May berpeluang mundur dari posisinya, muncul referendum kedua di Inggris terkait keanggotaan di UE, atau bahkan pemilihan umum.
Jika ada perubahan drastis, maka pasar akan bereaksi negatif karena sejauh ini secara fundamental belum ada kebutuhan mendesak untuk itu. Rupiah menguat 2,3% sepanjang awal tahun ini dari Rp 14.375 per dolar AS menjadi Rp 14.040.
Di sisi lain, sikap bank sentral AS cenderung kurang agresif sehingga sebagian pelaku pasar di Wall Street memperkirakan bahwa rencana kenaikan Fed Fund Rate bakal berkurang menjadi dua kali, dari sebelumnya tiga kali. Sebagian lain bahkan bertaruh Fed Rate bakal flat pada 2019.
Kecenderungan tersebut bakal mendapatkan basis dukungannya pada Kamis waktu setempat, menyusul rilis klaim awal pengangguran AS per Januari. Konsensus Refinitiv memperkirakan klaim awal penggangguran naik menjadi 220.000 dari angka sebelumnya 216.000.
Sebelumnya, Gubernur Fed Jerome Powell menyebutkan pihaknya akan mencermati efek kebijakan fiskal Presiden Donald Trump terhadap pembukaan lapangan pekerjaan, sebagai salah satu variabel penentuan arah suku bunga acuan Negara Adidaya tersebut.
Sentimen terkuat kelima masih seputar shutdown (penghentian layanan) pemerintah AS menyusul sikap ngotot Trump untuk memasukkan bujet pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko yang dikhawatirkan mulai memukul sektor ritel negara itu.
Shutdown di era Trump ini telah menginjak hari ke-20, menjadi yang terpanjang dalam 40 tahun terakhir, mendekati rekor shutdown pada pemerintahan Bill Clinton, yakni selama 21 hari pada 5 Desember 1995-6 Januari 1996.
Perusahaan pemeringkat S&P Global Ratings menilai ongkos ekonomi shutdown di atas 20 hari akan mencapai US$6 miliar, atau jauh lebih mahal dari proposal dana pembangunan tembok yang diajukan Trump sebesar US$5,7 miliar.
Sektor ritel paling terpukul karena 800.000 orang PNS AS kehilangan daya belinya. Sebagaimana diketahui, 70% perekonomian AS disumbangkan oleh konsumsi. JP Morgan pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 25 basis poin di kuartal I/2019 menjadi hanya 2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular