
Perhatikan Lima Sentimen Utama Penggerak Bursa Pekan Depan
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 January 2019 21:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,39% sepanjang pekan ini ke 6.361,46. Namun, angin panas Brexit dan Shutdown Amerika Serikat (AS) berpeluang mengganggu reli IHSG pekan depan.
Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, ada beberapa rilis data ekonomi domestik dan internasional yang berpeluang menyumbang sentimen utama yang menggerakkan bursa saham Indonesia.
Angin pertama berasal dari China yang pada Senin (14/1/2019) bakal mengumumkan neraca perdagangan per Desember 2018. Nilai neraca diproyeksikan memberikan kejutan karena diprediksi masih tumbuh meski dibayang-bayangi perang dagang.
Konsensus Refinitiv memprediksikan surplus perdagangan Negeri Tirai Bambu itu mencapai US$51,5 miliar atau lebih tinggi dari pada surplus November sebesar US$44,7 miliar. Impor diprediksi tumbuh lebih cepat dari 3% (November) ke 5%, sedangkan ekspor diyakini melambat dari 5,4% (November) ke 3%.
Jika realisasi perdagangan China lebih rendah atau bahkan berbalik dari ekspektasi, pelaku pasar nasional perlu mengantisipasi aksi jual saham pertambangan terutama batu bara, dan saham emiten manufaktur yang berorientasi pasar ke China. Namun, jika sesuai dengan ekspektasi, maka bursa nasional berpeluang melihat IHSG menghijau di awal pekan.
Di dalam negeri, pada hari yang sama belum ada sentimen negatif yang signifikan.
Rilis penjualan data otomotif per Desember diperkirakan tidak bakal memberikan kejutan dengan pertumbuhan digit tunggal (single digit). Penjualan motor pada November tumbuh 8,6%, sedangkan penjualan mobil 4,2%.
Sentimen kedua masih berasal dari neraca perdagangan Desember, tetapi kali ini dari dalam negeri. Jika pada November republik ini membukukan defisit perdagangan US$2,05 miliar, proyeksi Trading Economcis menyebutkan Indonesia bisa mencatat surplus US$0,9 miliar.
Jika dugaan surplus perdagangan ini terkonfirmasi, pasar saham berpeluang mencatatan reli hari kedua pekan depan. Namun, Kementerian Perdagangan memprediksikan perdagangan Desember masih bakal defisit karena kenaikan impor migas, meski ekspor non-migas membaik.
Pada hari yang sama, Uni Eropa bakal mengumumkan neraca perdagangan per November. Konsensus sebelumnya surplus 14 miliar euro. Sedangkan konsensus Trading Economics memperkirakan surplus senilai 13,7 miliar euro.
NEXT
Sentimen ketiga muncul dari Uni Eropa (UE), khususnya Inggris, yang pada Rabu malam (dini hari waktu Indonesia) akan mengadakan voting bersejarah di parlemen untuk memuluskan rencana Perdana Menteri Theresa May untuk minggat dari UE.
May memerlukan dukungan dari setidaknya 320 anggota parlemen agar proposal Brexit yang diusungnya mulus. Namun, menurut laporan CNBC, belum ada naga-naga dukungan dari pihak oposisi, yakni Partai Buruh.
Jika voting kali ini gagal, maka pemerintah hanya punya waktu tiga hari kerja untuk mengajukan proposal baru. Jika masih ditolak, maka May berpeluang mundur dari posisinya, muncul referendum kedua di Inggris terkait keanggotaan di UE, atau bahkan pemilihan umum.
Sentimen keempat bakal muncul dari dalam negeri di mana pelaku pasar mencermati hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis. Sejauh ini, pasar memperkirakan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate bakal dipertahankan di level 6%.
Jika ada perubahan drastis, maka pasar akan bereaksi negatif karena sejauh ini secara fundamental belum ada kebutuhan mendesak untuk itu. Rupiah menguat 2,3% sepanjang awal tahun ini dari Rp 14.375 per dolar AS menjadi Rp 14.040.
Di sisi lain, sikap bank sentral AS cenderung kurang agresif sehingga sebagian pelaku pasar di Wall Street memperkirakan bahwa rencana kenaikan Fed Fund Rate bakal berkurang menjadi dua kali, dari sebelumnya tiga kali. Sebagian lain bahkan bertaruh Fed Rate bakal flat pada 2019.
Kecenderungan tersebut bakal mendapatkan basis dukungannya pada Kamis waktu setempat, menyusul rilis klaim awal pengangguran AS per Januari. Konsensus Refinitiv memperkirakan klaim awal penggangguran naik menjadi 220.000 dari angka sebelumnya 216.000.
Sebelumnya, Gubernur Fed Jerome Powell menyebutkan pihaknya akan mencermati efek kebijakan fiskal Presiden Donald Trump terhadap pembukaan lapangan pekerjaan, sebagai salah satu variabel penentuan arah suku bunga acuan Negara Adidaya tersebut.
Sentimen terkuat kelima masih seputar shutdown (penghentian layanan) pemerintah AS menyusul sikap ngotot Trump untuk memasukkan bujet pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko yang dikhawatirkan mulai memukul sektor ritel negara itu.
Shutdown di era Trump ini telah menginjak hari ke-20, menjadi yang terpanjang dalam 40 tahun terakhir, mendekati rekor shutdown pada pemerintahan Bill Clinton, yakni selama 21 hari pada 5 Desember 1995-6 Januari 1996.
Perusahaan pemeringkat S&P Global Ratings menilai ongkos ekonomi shutdown di atas 20 hari akan mencapai US$6 miliar, atau jauh lebih mahal dari proposal dana pembangunan tembok yang diajukan Trump sebesar US$5,7 miliar.
Sektor ritel paling terpukul karena 800.000 orang PNS AS kehilangan daya belinya. Sebagaimana diketahui, 70% perekonomian AS disumbangkan oleh konsumsi. JP Morgan pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 25 basis poin di kuartal I/2019 menjadi hanya 2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Simak! Inilah 8 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, ada beberapa rilis data ekonomi domestik dan internasional yang berpeluang menyumbang sentimen utama yang menggerakkan bursa saham Indonesia.
Angin pertama berasal dari China yang pada Senin (14/1/2019) bakal mengumumkan neraca perdagangan per Desember 2018. Nilai neraca diproyeksikan memberikan kejutan karena diprediksi masih tumbuh meski dibayang-bayangi perang dagang.
Jika realisasi perdagangan China lebih rendah atau bahkan berbalik dari ekspektasi, pelaku pasar nasional perlu mengantisipasi aksi jual saham pertambangan terutama batu bara, dan saham emiten manufaktur yang berorientasi pasar ke China. Namun, jika sesuai dengan ekspektasi, maka bursa nasional berpeluang melihat IHSG menghijau di awal pekan.
Di dalam negeri, pada hari yang sama belum ada sentimen negatif yang signifikan.
Rilis penjualan data otomotif per Desember diperkirakan tidak bakal memberikan kejutan dengan pertumbuhan digit tunggal (single digit). Penjualan motor pada November tumbuh 8,6%, sedangkan penjualan mobil 4,2%.
Sentimen kedua masih berasal dari neraca perdagangan Desember, tetapi kali ini dari dalam negeri. Jika pada November republik ini membukukan defisit perdagangan US$2,05 miliar, proyeksi Trading Economcis menyebutkan Indonesia bisa mencatat surplus US$0,9 miliar.
Jika dugaan surplus perdagangan ini terkonfirmasi, pasar saham berpeluang mencatatan reli hari kedua pekan depan. Namun, Kementerian Perdagangan memprediksikan perdagangan Desember masih bakal defisit karena kenaikan impor migas, meski ekspor non-migas membaik.
Pada hari yang sama, Uni Eropa bakal mengumumkan neraca perdagangan per November. Konsensus sebelumnya surplus 14 miliar euro. Sedangkan konsensus Trading Economics memperkirakan surplus senilai 13,7 miliar euro.
NEXT
Sentimen ketiga muncul dari Uni Eropa (UE), khususnya Inggris, yang pada Rabu malam (dini hari waktu Indonesia) akan mengadakan voting bersejarah di parlemen untuk memuluskan rencana Perdana Menteri Theresa May untuk minggat dari UE.
May memerlukan dukungan dari setidaknya 320 anggota parlemen agar proposal Brexit yang diusungnya mulus. Namun, menurut laporan CNBC, belum ada naga-naga dukungan dari pihak oposisi, yakni Partai Buruh.
Jika voting kali ini gagal, maka pemerintah hanya punya waktu tiga hari kerja untuk mengajukan proposal baru. Jika masih ditolak, maka May berpeluang mundur dari posisinya, muncul referendum kedua di Inggris terkait keanggotaan di UE, atau bahkan pemilihan umum.
Sentimen keempat bakal muncul dari dalam negeri di mana pelaku pasar mencermati hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis. Sejauh ini, pasar memperkirakan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate bakal dipertahankan di level 6%.
Jika ada perubahan drastis, maka pasar akan bereaksi negatif karena sejauh ini secara fundamental belum ada kebutuhan mendesak untuk itu. Rupiah menguat 2,3% sepanjang awal tahun ini dari Rp 14.375 per dolar AS menjadi Rp 14.040.
Di sisi lain, sikap bank sentral AS cenderung kurang agresif sehingga sebagian pelaku pasar di Wall Street memperkirakan bahwa rencana kenaikan Fed Fund Rate bakal berkurang menjadi dua kali, dari sebelumnya tiga kali. Sebagian lain bahkan bertaruh Fed Rate bakal flat pada 2019.
Kecenderungan tersebut bakal mendapatkan basis dukungannya pada Kamis waktu setempat, menyusul rilis klaim awal pengangguran AS per Januari. Konsensus Refinitiv memperkirakan klaim awal penggangguran naik menjadi 220.000 dari angka sebelumnya 216.000.
Sebelumnya, Gubernur Fed Jerome Powell menyebutkan pihaknya akan mencermati efek kebijakan fiskal Presiden Donald Trump terhadap pembukaan lapangan pekerjaan, sebagai salah satu variabel penentuan arah suku bunga acuan Negara Adidaya tersebut.
Sentimen terkuat kelima masih seputar shutdown (penghentian layanan) pemerintah AS menyusul sikap ngotot Trump untuk memasukkan bujet pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko yang dikhawatirkan mulai memukul sektor ritel negara itu.
Shutdown di era Trump ini telah menginjak hari ke-20, menjadi yang terpanjang dalam 40 tahun terakhir, mendekati rekor shutdown pada pemerintahan Bill Clinton, yakni selama 21 hari pada 5 Desember 1995-6 Januari 1996.
Perusahaan pemeringkat S&P Global Ratings menilai ongkos ekonomi shutdown di atas 20 hari akan mencapai US$6 miliar, atau jauh lebih mahal dari proposal dana pembangunan tembok yang diajukan Trump sebesar US$5,7 miliar.
Sektor ritel paling terpukul karena 800.000 orang PNS AS kehilangan daya belinya. Sebagaimana diketahui, 70% perekonomian AS disumbangkan oleh konsumsi. JP Morgan pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 25 basis poin di kuartal I/2019 menjadi hanya 2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Simak! Inilah 8 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular