
Dolar Menuju Pelemahan Mingguan Terparah dalam 10 Bulan
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
21 December 2018 17:06

London, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) mengonsolidasikan kerugian semalam pada hari Jumat (21/12/2018) dan diperkirakan akan mengalami penurunan mingguan terbesar dalam 10 bulan.
Hal ini disebabkan adanya ancaman penutupan pemerintahan (government shutdown) AS dan imbal hasil obligasi yang lebih rendah yang dipicu oleh kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Saya pikir pasar lebih berfokus sekarang pada risiko ekonomi spesifik AS daripada risiko ekonomi global dan itu membebani dolar," kata Thu Lan Nguyen, ahli strategi FX di Commerzbank di Frankfurt, dikutip dari Reuters.
Terhadap enam mata uang utama, dolar secara umum stabil di 96.247 tetapi diperkirakan turun 1,2% untuk minggu ini, penurunan mingguan terbesar sejak pertengahan Februari.
Dolar mendapat sedikit dukungan dari pasar obligasi, dengan imbal hasil obligasi Treasury AS tenor 10 tahun tetap di 2,80%, jauh di bawah rekor tertinggi tujuh tahun yang lebih dari 3,2% pada November.
Yen Jepang, yang merupakan instrumen safe haven, mendapat dukungan dari sentimen yang cukup buruk dari sikap bank sentral AS Federal Reserve yang kurang dovish dibandingkan harapan pasar. Yen menguat 0,2% terhadap dolar menjadi 111,09 yen.
Selain itu, kabar yang menambah tekanan pada dolar adalah sikap Presiden AS Donald Trump yang telah menolak menandatangani undang-undang untuk mendanai pemerintah AS kecuali dia mendapat uang untuk membangun dinding perbatasan, yang berisiko menyebabkan shutdown sebagian pemerintahan federal pada hari Sabtu.
Euro diperdagangkan 0,22% lebih tinggi pada US$1,1470, tepat di bawah rekor tertingginya dalam 6 minggu, sebesar US$1,1486 yang dicapai sehari sebelumnya. Euro menuju kenaikan 1,4% pada minggu ini.
Pound naik 0,3% menjadi US$1,2690.
(prm) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Hal ini disebabkan adanya ancaman penutupan pemerintahan (government shutdown) AS dan imbal hasil obligasi yang lebih rendah yang dipicu oleh kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Saya pikir pasar lebih berfokus sekarang pada risiko ekonomi spesifik AS daripada risiko ekonomi global dan itu membebani dolar," kata Thu Lan Nguyen, ahli strategi FX di Commerzbank di Frankfurt, dikutip dari Reuters.
Dolar mendapat sedikit dukungan dari pasar obligasi, dengan imbal hasil obligasi Treasury AS tenor 10 tahun tetap di 2,80%, jauh di bawah rekor tertinggi tujuh tahun yang lebih dari 3,2% pada November.
Yen Jepang, yang merupakan instrumen safe haven, mendapat dukungan dari sentimen yang cukup buruk dari sikap bank sentral AS Federal Reserve yang kurang dovish dibandingkan harapan pasar. Yen menguat 0,2% terhadap dolar menjadi 111,09 yen.
Selain itu, kabar yang menambah tekanan pada dolar adalah sikap Presiden AS Donald Trump yang telah menolak menandatangani undang-undang untuk mendanai pemerintah AS kecuali dia mendapat uang untuk membangun dinding perbatasan, yang berisiko menyebabkan shutdown sebagian pemerintahan federal pada hari Sabtu.
Euro diperdagangkan 0,22% lebih tinggi pada US$1,1470, tepat di bawah rekor tertingginya dalam 6 minggu, sebesar US$1,1486 yang dicapai sehari sebelumnya. Euro menuju kenaikan 1,4% pada minggu ini.
Pound naik 0,3% menjadi US$1,2690.
(prm) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Most Popular