Perang Dagang & Shale Oil Bikin Was-was OPEC

Wangi Sinintya, CNBC Indonesia
09 January 2019 18:17
Perang Dagang & Shale Oil Bikin Was-was OPEC
Foto: Opec.org
Jakarta, CNBC Indonesia -- Perang dagang AS-China dan naiknya produksi minyak serpih (shale oil) Amerika Serikat akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi produksi minyak dari negara-negara anggota OPEC.

Demikian diungkapkan Menteri Energi Uni Emirat Arab (UEA) dan mantan Presiden OPEC Suhail Al Mazrouei terkait dengan gejolak harga minyak dunia dalam setahun terakhir dan bagaimana mereka mengantisipasi turbulensi harga di masa mendatang.

"Salah satunya adalah potensi perang [dagang] yang memanas antara China dan AS," kata Mazrouei kepada Hadley Gamble dari CNBC Internasional, dilansir dari cnbc.com, Rabu (09/01/2019).

Mazrouei menyelesaikan masa jabatan sebagai Presiden OPEC pada 1 Januari lalu. "Kami tidak main-main dengan Presiden Trump atau presiden mana pun," katanya.

"Saya pikir ini [trade war] menjadi salah satu hal yang mendasar, tidak hanya mempengaruhi kita, tapi juga seluruh ekonomi dunia. Dan saya cenderung lebih optimistis bahwa kita tidak akan melihat perang [dagang] terjadi. Ini taktik negosiasi, mereka [AS-China] akan berujung pada resolusi, apa pun itu, tahun ini atau tahun depan."

Dia meyakini hasil negosiasi yang positif atas perundingan damai antara dua ekonomi terbesar di dunia tersebut akan datang. Lebih lanjut, Mazrouei juga menegaskan bahwa produksi minyak serpih AS juga akan semakin menempatkan negara-negara eksportir minyak di OPEC itu di bawah tekanan. "Tapi satu hal, berapa banyak yang dihasilkan dari produksi minyak serpih, saya pikir itu faktor lain yang perlu kita perhatikan dan perlu kita beri tahu bahwa itu harus masuk akal," katanya.
Harga minyak terkoreksi setelah menyentuh level tertingginya di atas US$ 86 per barel pada awal Oktober 2018, karena kekhawatiran kelebihan pasokan global dan melemahnya permintaan.

Pada hari Rabu (9/2/2019), harga minyak mentah jenis Brent untuk patokan Asia dan Eropa, bertahan di level US$ 59,28 per barel sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk patokan AS mencapai US$ 50,34 per barel.

Perang dagang AS-China, gejolak politik di Eropa dan kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi global juga dinilai mengaburkan prospek permintaan komoditas energi ini.

Energy Information Agency menaikkan proyeksinya terkait dengan pertumbuhan pasokan minyak mentah AS. Produksi minyak domestik AS diperkirakan naik 1,18 juta barel per hari pada tahun depan, dengan output rata-rata 12,06 juta barel per hari. Riset prusahaan konsultan PVM Oil Associate menunjukkan bahwa banyaknya ketersediaan pasokan minyak mentah AS akan memperkuat posisinya sebagai produsen minyak teratas dunia. Ketika ditanya tentang kritik yang berkembang terhadap OPEC yang datang dari Gedung Putih, Mazrouei menegaskan bahwa OPEC selalu mendengar apa yang dikatakan AS tentang harga dan produksi minyak. Tapi dia menegaskan bahwa kondisi kartel minyak saat ini "selalu melakukan hal yang benar."

"Saya pikir apa yang kami lakukan adalah, mendengar mereka [AS]. Mereka adalah konsumen utama dan negara-negara produsen utama, kami mendengar apa yang mereka katakan tetapi kami akan selalu melakukan hal yang benar dari perspektif kami, dan selalu berusaha untuk menjaga keseimbangan [dalam penawaran dan permintaan]."

OPEC dan mitra non-OPEC yang dipimpin oleh Rusia setuju mengurangi produksi sebesar 1,2 juta barel per hari pada awal Desember 2018, meski Presiden Trump menyerukan agar produksi minyak mentah terus digenjot.

Harga minyak mentah turun di tengah berita bahwa pemerintah AS akan memberikan keringanan bagi 8 importir utama minyak Iran, yang memungkinkan mereka menghindari sanksi AS terhadap Iran selama 180 hari. Sebelumnya negara anggota OPEC seperti Arab Saudi mengindahkan seruan Trump untuk meningkatkan produksi.

"Kami tidak dalam kapasitas untuk mempercayai atau tidak terhadap presiden [Trump]," katanya ketika ditanya apakah ia bisa mempercayai Trump. "Kami dalam posisi yang mengawasi pasar dan memperbaiki setiap kali faktor geopolitik, yang mempengaruhi pasar."

Komentar Al Mazrouei berkaitan dengan gejolak harga minyak pada 2018 ketika OPEC dan negara sekutu non-OPEC, termasuk Rusia, bimbang antara memangkas atau meningkatkan produksi minyak guna menstabilkan harga. Presiden Trump tetap kritis terhadap strategi OPEC dalam membatasi produksi dengan mengatakan bahwa harga minyak terlalu tinggi.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular