Rupiah Masih Terbaik di Asia, Tapi Awas Terpeleset!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 January 2019 17:03

Mayoritas mata uang Asia mampu menguat terhadap dolar AS. Tidak hanya di Asia, dolar AS juga sedang tertekan secara global. Pada pukul 16:23 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,3%.
Pelemahan dolar AS disebabkan oleh pernyataan Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed. Akhir pekan lalu, pengganti Janet Yellen itu menyebut bahwa bank sentral siap untuk mengubah posisi (stance) kebijakan moneter apabila diperlukan.
"Kami akan sabar memantau perkembangan perekonomian. Kami selalu siap untuk mengubah stance kebijakan dan mengubahnya secara signifikan," ungkap Powell di depan forum American Economic Association, dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,5% tahun ini. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,7%.
Data-data ekonomi di AS sudah mengarah ke sana. US Bureau of Labor Statistics merilis angka pengangguran Desember 2018 yang sebesar 3,9%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,7%.
Kemudian angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi ISM pada Desember 2018 tercatat 54,1. Angka ini menjadi yang terendah sejak November 2016.
Untuk PMI versi IHS Markit, angka pada bulan lalu adalah 53,8. Ini merupakan laju paling lambat sejak September 2017.
Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali sepanjang 2019, lebih sedikit dibandingkan kenaikan tahun sebelumnya yang mencapai empat kali. Namun dengan data-data ekonomi AS yang melempem, ditambah pernyataan terbaru dari Powell, bisa jadi dosis kenaikan Federal Funds Rate tahun ini dikurangi. Bahkan ada kemungkinan suku bunga acuan diturunkan.
Melihat potensi The Fed yang kurang hawkish bahkan mungkin mengarah ke dovish, dolar AS pun mundur teratur. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS tidak lagi menarik sehingga investor berbondong-bondong menjual mata uang Negeri Paman Sam.
Kemudian, investor juga sedang berbunga-bunga karena hari ini delegasi AS tiba Beijing untuk membahas isu-isu perdagangan dengan AS. Pertemuan tersebut dijadwalkan berlangsung hari ini dan besok.
Belum ada hasil dari pertemuan ini, karena memang baru selesai esok hari. Namun gambaran yang muncul adalah adanya aura optimisme.
"Kedua pihak melakukan pembicaraan yang positif dan konstruktif. Sejak awal, kami meyakini bahwa friksi dagang China-AS bukan hal yang positif bagi kedua negara maupun seluruh dunia. China memiliki keyakinan bahwa berdasarkan kesetaraan dan penghormatan, friksi dagang akan dapat diselesaikan," papar Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengutip Reuters.
Perang dagang AS-China sepertinya bisa berganti menjadi damai dagang. Harapan itu bukan sekadar harapan, karena tanda-tanda ke arah sana semakin kuat.
Damai dagang AS-China tentu berdampak positif terhadap perekonomian dunia. Saat dua raksasa ekonomi dunia tidak lagi saling hambat perdagangan, maka arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan kembali menggeliat. Risiko perlambatan ekonomi bisa diminimalkan.
Ini membuat investor tidak bermain aman dan masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 398,59 miliar. Sedangkan di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah tenor 10 tahun turun 10,1 basis poin (bps) yang menandakan harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pelemahan dolar AS disebabkan oleh pernyataan Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed. Akhir pekan lalu, pengganti Janet Yellen itu menyebut bahwa bank sentral siap untuk mengubah posisi (stance) kebijakan moneter apabila diperlukan.
"Kami akan sabar memantau perkembangan perekonomian. Kami selalu siap untuk mengubah stance kebijakan dan mengubahnya secara signifikan," ungkap Powell di depan forum American Economic Association, dikutip dari Reuters.
Data-data ekonomi di AS sudah mengarah ke sana. US Bureau of Labor Statistics merilis angka pengangguran Desember 2018 yang sebesar 3,9%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,7%.
Kemudian angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi ISM pada Desember 2018 tercatat 54,1. Angka ini menjadi yang terendah sejak November 2016.
Untuk PMI versi IHS Markit, angka pada bulan lalu adalah 53,8. Ini merupakan laju paling lambat sejak September 2017.
Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali sepanjang 2019, lebih sedikit dibandingkan kenaikan tahun sebelumnya yang mencapai empat kali. Namun dengan data-data ekonomi AS yang melempem, ditambah pernyataan terbaru dari Powell, bisa jadi dosis kenaikan Federal Funds Rate tahun ini dikurangi. Bahkan ada kemungkinan suku bunga acuan diturunkan.
Melihat potensi The Fed yang kurang hawkish bahkan mungkin mengarah ke dovish, dolar AS pun mundur teratur. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS tidak lagi menarik sehingga investor berbondong-bondong menjual mata uang Negeri Paman Sam.
Kemudian, investor juga sedang berbunga-bunga karena hari ini delegasi AS tiba Beijing untuk membahas isu-isu perdagangan dengan AS. Pertemuan tersebut dijadwalkan berlangsung hari ini dan besok.
Belum ada hasil dari pertemuan ini, karena memang baru selesai esok hari. Namun gambaran yang muncul adalah adanya aura optimisme.
"Kedua pihak melakukan pembicaraan yang positif dan konstruktif. Sejak awal, kami meyakini bahwa friksi dagang China-AS bukan hal yang positif bagi kedua negara maupun seluruh dunia. China memiliki keyakinan bahwa berdasarkan kesetaraan dan penghormatan, friksi dagang akan dapat diselesaikan," papar Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengutip Reuters.
Perang dagang AS-China sepertinya bisa berganti menjadi damai dagang. Harapan itu bukan sekadar harapan, karena tanda-tanda ke arah sana semakin kuat.
Damai dagang AS-China tentu berdampak positif terhadap perekonomian dunia. Saat dua raksasa ekonomi dunia tidak lagi saling hambat perdagangan, maka arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan kembali menggeliat. Risiko perlambatan ekonomi bisa diminimalkan.
Ini membuat investor tidak bermain aman dan masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 398,59 miliar. Sedangkan di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah tenor 10 tahun turun 10,1 basis poin (bps) yang menandakan harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Jangan Puas Dulu, Rupiah!
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular