
Keperkasaan Rupiah & Risiko Terkena 'Penyakit Belanda'
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
06 January 2019 16:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat cukup signifikan sepanjang pekan lalu. Rupiah menguat nyaris 2% terhadap greenback atau 1,9% ke posisi Rp 14.265 secara point to point.
Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga stabilitas rupiah menganggap bahwa nilai tukar saat ini masih terlalu murah (undervalued). Bank sentral berkali-kali menegaskan akan membiarkan rupiah menguat dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Meski demikian, penguatan rupiah yang terlalu tajam tak melulu menjadi kabar baik bagi perekonomian Indonesia, yang sampai saat ini masih mengandalkan ekspor untuk tumbuh. Jika rupiah menguat tak wajar, harga barang ekspor pun menjadi tidak kompetitif.
"Dalam istilah ekonomi, ini namanya Dutch disease [penyakit Belanda]. Ini akan berakibat komoditas kita jatuh dan transaksi berjalan bengkak," kata Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia, Minggu (6/1/2018).
"Akhirnya, akan lebih senang impor dibandingkan ekspor. Tidak ada yang mau produksi kalau rupiah menguat terlalu tajam. Kita pernah menguat sampai Rp 8.500/US$, dan komoditas jatuh," jelasnya.
Dutch disease merujuk pada kondisi ketika melimpahnya ekspor sumber daya alam akan memukul sektor manufaktur.
Menurut David, pergerakan rupiah masih mungkin berada di bawah level Rp 14.000/US$, seiring dengan sikap pelaku pasar yang mulai berani ambil risiko di tengah meredanya sentimen negatif dari pasar global serta kebutuhan impor di awal tahun yang tidak setinggi biasanya.
Namun, penguatan rupiah yang tak wajar justru akan memberikan beban terutama kepada transaksi berjalan. Menurut dia, level fundamental rupiah saat ini sudah berada di kisaran Rp 14.500/US$ - Rp 15.000/US$.
"Dengan kondisi transaksi berjalan seperti sekarang, fundamentalnya Rp 14.500/US$ - Rp 15.000/US$. Tapi masih bisa overshoot menguat. Fungsi rupiah salah satunya adalah menjaga transaksi berjalan," katanya.
Maka dari itu, peran dari bank sentral sebagai otoritas moneter begitu penting untuk menjaga stabilitas. Sebab, penguatan rupiah yang tidak wajar juga akan memberikan ketidakpastian bagi investor.
"Kalau terlalu tinggi, lompatannya terlalu tinggi, akan ganggu confidence. Perlahan-lahan dia akan menggangu ekonomi," tegasnya.
(prm) Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya
Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga stabilitas rupiah menganggap bahwa nilai tukar saat ini masih terlalu murah (undervalued). Bank sentral berkali-kali menegaskan akan membiarkan rupiah menguat dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Meski demikian, penguatan rupiah yang terlalu tajam tak melulu menjadi kabar baik bagi perekonomian Indonesia, yang sampai saat ini masih mengandalkan ekspor untuk tumbuh. Jika rupiah menguat tak wajar, harga barang ekspor pun menjadi tidak kompetitif.
"Akhirnya, akan lebih senang impor dibandingkan ekspor. Tidak ada yang mau produksi kalau rupiah menguat terlalu tajam. Kita pernah menguat sampai Rp 8.500/US$, dan komoditas jatuh," jelasnya.
![]() |
Menurut David, pergerakan rupiah masih mungkin berada di bawah level Rp 14.000/US$, seiring dengan sikap pelaku pasar yang mulai berani ambil risiko di tengah meredanya sentimen negatif dari pasar global serta kebutuhan impor di awal tahun yang tidak setinggi biasanya.
Namun, penguatan rupiah yang tak wajar justru akan memberikan beban terutama kepada transaksi berjalan. Menurut dia, level fundamental rupiah saat ini sudah berada di kisaran Rp 14.500/US$ - Rp 15.000/US$.
"Dengan kondisi transaksi berjalan seperti sekarang, fundamentalnya Rp 14.500/US$ - Rp 15.000/US$. Tapi masih bisa overshoot menguat. Fungsi rupiah salah satunya adalah menjaga transaksi berjalan," katanya.
Maka dari itu, peran dari bank sentral sebagai otoritas moneter begitu penting untuk menjaga stabilitas. Sebab, penguatan rupiah yang tidak wajar juga akan memberikan ketidakpastian bagi investor.
"Kalau terlalu tinggi, lompatannya terlalu tinggi, akan ganggu confidence. Perlahan-lahan dia akan menggangu ekonomi," tegasnya.
(prm) Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya
Most Popular