Harga Minyak Melesat di Pekan Perdana 2019

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 January 2019 12:09
Harga Minyak Melesat di Pekan Perdana 2019
Ilustrasi Pengeboran Minyak (REUTERS/Nick Oxford)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia bergerak naik pekan ini. Ramalan bahwa 2019 bukanlah waktunya si emas hitam belum terbukti, setidaknya sampai pekan pertama. 

Sepanjang pekan ini, harga minyak jenis brent melonjak 9,31% secara point-to-point. Sedangkan harga minyak light sweet terangkat 5,8%. 

 

Ada beberapa faktor penyebab lonjakan harga minyak dalam sepekan terakhir. Pertama, harga komoditas ini memang sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Selama sebulan terahir, harga minyak brent sudah anjlok 8,08%. Dibandingkan posisi setahun lalu, harga sudah amblas 16,17%.


Oleh karena itu, wajar apabila investor menilai harga minyak sudah murah dan menarik. Ini akan memancing minat pelaku pasar untuk masuk ke pasar komoditas, permintaan minyak meningkat, dan harganya terdongkrak. 

Kedua, ada pula sentimen penurunan pasokan di pasar global. Berdasarkan survei Reuters, produksi minyak di 15 negara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) pada Desember 2018 berada di 32,68 juta barel/hari. Turun 460.000 barel/hari dibandingkan November, dan menjadi penurunan bulanan tertinggi sejak Januari 2017. 


Ketiga, investor juga berbunga mendengar hubungan Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin mesra. Pada 7-8 Januari, rencananya akan digelar pertemuan tingkat wakil Menteri AS-China di Beijing untuk membahas isu-isu perdagangan.  

"Delegasi AS yang dipimpin oleh Wakil Perwakilan Dagang Jeffrey Gerrish akan mengunjungi China untuk melakukan diskusi yang positif dan konstruktif dengan pemerintah China," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China.
 

Selepas pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Buenos Aires (Argentina) awal bulan lalu, hubungan Washington-Beijing memang semakin membaik. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar.  

Apabila dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan kembali semarak. Aktivitas ekonomi dan perdagangan pulih, sehingga permintaan energi akan ikut meningkat. Ini tentu memunculkan prospek kenaikan harga minyak. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun, sejatinya harga minyak masih sangat rentan berbalik arah mengingat risiko yang begitu tinggi pada 2019. Risiko tersebut bernama perlambatan ekonomi global. 

AS, yang menjadi lokomotif penggerak ekonomi dunia, sepertinya akan melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,5% tahun ini. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,7%. 

Data-data ekonomi di AS sudah mengarah ke sana. Kemarin malam, US Bureau of Labor Statistics merilis angka pengangguran Desember 2018 yang sebesar 3,9%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,7%.  

Kemudian angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi ISM pada Desember 2018 tercatat 54,1. Angka ini menjadi yang terendah sejak November 2016.

Untuk PMI versi IHS Markit, angka pada bulan lalu adalah 53,8. Ini merupakan laju paling lambat sejak September 2017. 

Sinyal-sinyal perlambatan ekonomi di AS sampai membuat The Federal Reserve/The Fed melunak. Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Fed, mengeluarkan pernyataan bernada dovish yang akan menjadi arah kebijakan moneter AS ke depan. 

"Kami akan sabar memantau perkembangan perekonomian. Kami selalu siap untuk mengubah stance (posisi) kebijakan dan mengubahnya secara signifikan," ungkap Powell di depan forum American Economic Association, dikutip dari Reuters. 

Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali sepanjang 2019, lebih sedikit dibandingkan kenaikan tahun sebelumnya yang mencapai empat kali. Namun dengan data-data ekonomi AS yang melempem, ditambah pernyataan terbaru dari Powell, bisa jadi dosis kenaikan Federal Funds Rate tahun ini dikurangi. Bahkan ada kemungkinan suku bunga acuan diturunkan. 


Artinya, perlambatan ekonomi di AS adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Apabila sang lokomotif memperlambat laju, maka gerbong-gerbong di belakangnya akan ikut melambat. Hasilnya adalah perlambatan ekonomi global. 

Ketika ekonomi global melambat, maka permintaan energi juga ikut berkurang sehingga harga minyak masih berpotensi turun. Risiko ini yang akan membayangi pergerakan harga si emas hitam selama 2019.  

Jadi, kenaikan harga minyak pada pekan pertama 2019 masih belum bisa menggambarkan tren untuk keseluruhan tahun. Jalan masih panjang, dan jalan itu penuh kerikil tajam.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/hps) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular