
OPEC Mulai Rem Produksi, Harga Minyak Sedikit Terkerek
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 January 2019 11:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Pagi hari ini (4/1/2019), harga minyak mentah dunia naik secara terbatas, setelah ditutup menguat pada perdagangan kemarin (3/1/2019).
Hingga pukul 10:45 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret 2019 stagnan di posisi US$ 55,95/barel, dari perdagangan sesi kemarin yang ditutup menguat 1,89% di posisi US$ 55,95/barel.Harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Februari sedikit lebih baik yang mendaki 0,21% ke posisi US$ 47,19/barel, setelah berhasil menguat 1,18% di level US$ 46,95/barel pada penutupan perdagangan kemarin.
Menguatnya harga minyak pada hari kemarin didorong oleh sentimen positif yang berasal dari timur tengah. Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dikabarkan sudah mulai mengerem keran produksinya.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Reuters, produksi minyak 15 anggota OPEC pada bulan Desember 2018 berkurang 460.000 barel/hari secara bulanan (mtm) dari total produksi bulan November di posisi 32,68 juta barel/hari. Penurunan produksi ini merupakan yang terbesar secara bulanan sejak Januari 2017. Arab Saudi menjadi penyumbang terbesar pemotongan produksi minyak OPEC, yaitu berkurang sebesar 400.000 barel/hari.
Hasil survei ini membuat investor menduga bahwa tingkat kepatuhan OPEC terhadap rencana pemotongan produksinya pada Januari 2019 akan cukup tinggi. Sebagi informasi, pada Desember 2018, OPEC bersama Rusia telah bersepakat untuk mengurangi kapasitas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel/hari yang akan dimulai minggu ini.
Dalam kesepakatan ini OPEC 'kebagian jatah' pengurangan produksi minyak sebesar 800.000 barel/hari. Artinya, pada Desember 2018, sudah setengah jalan untuk patuh terhadap kesepakatan tersebut.
Tapi masih butuh waktu sekitar 3-4 bulan hingga kelebihan cadangan minyak bisa dibersihkan. "Bila OPEC bersama sekutunya benar-benar mematuhi kesepakatan, akan butuh waktu 3-4 bulan untuk membersihkan kelebihan cadangan minyak yang ada," kata konsultan energi FGE, seperti yang dilansir dari Reuters.
Berita positif juga datang dari Amerika Serikat (AS). Data dari American Petroleum Institute yang dirilis kemarin menunjukkan bahwa cadangan minyak mentah AS turun 4,5 juta barel menjadi 443,7 juta barel pada akhir Desember 2018.
Hal ini disebabkan oleh tingginya produksi bensin dan distilat Negeri Paman Sam pada pekan tersebut, yang membuat cadangan bensin meningkat 8 juta barel, dan distilat naik 4 juta barel. Turunnya cadangan minyak mentah pada bulan Desember 2018 dapat membuat permintaan minyak AS di bulan Januari 2019 juga meningkat. Diprediksi, sentimen ini yang mendorong harga WTI ke zona hijau pada pagi hari ini.
Namun demikian, sentimen negatif juga masih kuat membayangi komoditas emas hitam ini. Pasalnya, tanda-tanda perlambatan ekonomi dunia pada tahun ini kian nyata.
Pada kuartal IV-2018 ekonomi China diperkirakan jatuh ke bawah 6,5%. Hal ini dipelopori banyaknya perusahaan yang mengalami kesulitan akibat adanya perang dagang Amerika Serikat-China.
"Tren perlambatan ekonomi masih berlanjut, bahkan momentum perlambatan terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi kuartal empat sangat mungkin ke bawah 6,5%," demikian bunyi majalah China Finance terbitan bank sentral China, People's Bank of China, dilansir dari Reuters, Rabu (2/1/2019).
Pelemahan ekonomi China makin terkonfirmasi menyusul rilis data Puchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur China oleh Caixin yang mencatat bahwa PMI China di Desember 2018 turun ke 49,7 dari 50,2 di November 2018. Ini adalah kontraksi pertama yang dialami Negeri Tirai Bambu dalam 19 bulan terakhir. Hal ini menggambarkan aktifitas industri China yang melambat.
Tak hanya di China, perlambatan ekonomi juga menghantui pasar global. Singapura mencatatkan pertumbuhan tahunan ekonomi kuartal IV-2018 sebesar 2,2%, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 2,7%. Malaysia juga mencatatkan kontraksi PMI ke level 46,8 pada Desember 2018, turun dari 48,2 pada November 2018.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan.
Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Perlambatan ekonomi dunia yang semakin di depan mata lantas memunculkan persepsi bahwa permintaan energi akan ikut menurun.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(taa/gus) Next Article Gawat! Harga Minyak Dunia Terbang Tinggi ke US$ 90, Ini Pemicunya
Hingga pukul 10:45 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret 2019 stagnan di posisi US$ 55,95/barel, dari perdagangan sesi kemarin yang ditutup menguat 1,89% di posisi US$ 55,95/barel.Harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Februari sedikit lebih baik yang mendaki 0,21% ke posisi US$ 47,19/barel, setelah berhasil menguat 1,18% di level US$ 46,95/barel pada penutupan perdagangan kemarin.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Reuters, produksi minyak 15 anggota OPEC pada bulan Desember 2018 berkurang 460.000 barel/hari secara bulanan (mtm) dari total produksi bulan November di posisi 32,68 juta barel/hari. Penurunan produksi ini merupakan yang terbesar secara bulanan sejak Januari 2017. Arab Saudi menjadi penyumbang terbesar pemotongan produksi minyak OPEC, yaitu berkurang sebesar 400.000 barel/hari.
Hasil survei ini membuat investor menduga bahwa tingkat kepatuhan OPEC terhadap rencana pemotongan produksinya pada Januari 2019 akan cukup tinggi. Sebagi informasi, pada Desember 2018, OPEC bersama Rusia telah bersepakat untuk mengurangi kapasitas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel/hari yang akan dimulai minggu ini.
Dalam kesepakatan ini OPEC 'kebagian jatah' pengurangan produksi minyak sebesar 800.000 barel/hari. Artinya, pada Desember 2018, sudah setengah jalan untuk patuh terhadap kesepakatan tersebut.
Tapi masih butuh waktu sekitar 3-4 bulan hingga kelebihan cadangan minyak bisa dibersihkan. "Bila OPEC bersama sekutunya benar-benar mematuhi kesepakatan, akan butuh waktu 3-4 bulan untuk membersihkan kelebihan cadangan minyak yang ada," kata konsultan energi FGE, seperti yang dilansir dari Reuters.
Berita positif juga datang dari Amerika Serikat (AS). Data dari American Petroleum Institute yang dirilis kemarin menunjukkan bahwa cadangan minyak mentah AS turun 4,5 juta barel menjadi 443,7 juta barel pada akhir Desember 2018.
Hal ini disebabkan oleh tingginya produksi bensin dan distilat Negeri Paman Sam pada pekan tersebut, yang membuat cadangan bensin meningkat 8 juta barel, dan distilat naik 4 juta barel. Turunnya cadangan minyak mentah pada bulan Desember 2018 dapat membuat permintaan minyak AS di bulan Januari 2019 juga meningkat. Diprediksi, sentimen ini yang mendorong harga WTI ke zona hijau pada pagi hari ini.
Namun demikian, sentimen negatif juga masih kuat membayangi komoditas emas hitam ini. Pasalnya, tanda-tanda perlambatan ekonomi dunia pada tahun ini kian nyata.
Pada kuartal IV-2018 ekonomi China diperkirakan jatuh ke bawah 6,5%. Hal ini dipelopori banyaknya perusahaan yang mengalami kesulitan akibat adanya perang dagang Amerika Serikat-China.
"Tren perlambatan ekonomi masih berlanjut, bahkan momentum perlambatan terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi kuartal empat sangat mungkin ke bawah 6,5%," demikian bunyi majalah China Finance terbitan bank sentral China, People's Bank of China, dilansir dari Reuters, Rabu (2/1/2019).
Pelemahan ekonomi China makin terkonfirmasi menyusul rilis data Puchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur China oleh Caixin yang mencatat bahwa PMI China di Desember 2018 turun ke 49,7 dari 50,2 di November 2018. Ini adalah kontraksi pertama yang dialami Negeri Tirai Bambu dalam 19 bulan terakhir. Hal ini menggambarkan aktifitas industri China yang melambat.
Tak hanya di China, perlambatan ekonomi juga menghantui pasar global. Singapura mencatatkan pertumbuhan tahunan ekonomi kuartal IV-2018 sebesar 2,2%, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 2,7%. Malaysia juga mencatatkan kontraksi PMI ke level 46,8 pada Desember 2018, turun dari 48,2 pada November 2018.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan.
Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Perlambatan ekonomi dunia yang semakin di depan mata lantas memunculkan persepsi bahwa permintaan energi akan ikut menurun.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(taa/gus) Next Article Gawat! Harga Minyak Dunia Terbang Tinggi ke US$ 90, Ini Pemicunya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular