Harga Batu Bara Stagnan di Level Terlemah Sejak Mei 2018

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 December 2018 12:24
Pada perdagangan hari Rabu (26/12/2018), harga batu bara Newcastle kontrak berjangka relatif stagnan dibandingkan perdagangan sehari sebelumnya.
Foto: REUTERS/Beawiharta/File Photo
Jakarta, CNBC IndonesiaPada penutupan perdagangan hari Rabu (26/12/2018), harga batu bara Newcastle kontrak berjangka tidak mengalami perubahan dibandingkan perdagangan sehari sebelumnya. Harga si batu hitam stagnan di level US$ 101/Metrik Ton (MT).

Dengan pergerakan itu, harga batu bara masih betah di level terendahnya dalam 7 bulan lebih, atau sejak awal Mei 2018.

BACA: Bursa Saham Terbakar, Harga Batu Bara Terendah Sejak Mei 2018

Harga batu bara mendapatkan tekanan dari kejatuhan bursa saham dunia, yang mengindikasikan pelaku pasar kini mulai pesimis terhadap kinerja ekonomi global.

Selain itu, harga batu bara juga tidak mendapatkan sokongan dari sisi fundamental. Pembatasan impor batu bara oleh pemerintah China masih menjadi faktor yang menghantui harga komoditas energi utama dunia ini.

Sisi positifnya, penguatan penguatan yuan China selama 3 hari berturut-turut mampu memberikan sokongan bagi harga batu bara.



Bursa saham utama Asia berguguran pada perdagangan kemarin. Hanya bursa saham Jepang yang mampu menguat, di mana indeks Nikkei 225 naik 0,89% sedangkan bursa saham Asia lainnya mengakhiri hari di zona merah.

Indeks Hang Seng melemah 0,4%, Shanghai Composite minus 0,26%, KLCI (Malaysia) turun 0,67%, sementara Kospi dan Straits Times ditutup anjlok dengan koreksi yang sama yaitu 1,31%.  

Pasar keuangan Asia tertular virus aksi jual massal alias sell-off yang terjadi di Wall Street jelang libur Hari Natal. Pada perdagangan awal pekan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,91%, S&P 500 anjlok 2,71%, dan Nasdaq terperosok 5,14%.

Hawa perlambatan ekonomi global kian terasa jelang akhir 2018. Sepertinya 2019 bukan tahun yang mudah, dan perlambatan ekonomi menjadi tren di berbagai belahan dunia.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan.

Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019. Sedangkan, ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan.

Perlambatan ekonomi dunia yang semakin nyata lantas memunculkan persepsi bahwa permintaan energi (termasuk batu bara) akan ikut menurun. Hal ini menjadi sentimen negatif bagi harga batu bara kemarin.

Di tengah tidak kondusifnya sentimen negatif, harga batu bara justru tidak mendapat sokongan dari fundamental. Impor batu bara dari China tidak akan mampu meningkat, setidaknya hingga akhir tahun ini.

Hal tersebut tidak lepas dari pemerintah China yang memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017.

Dengan regulasi itu, impor pada bulan Desember 2018 juga diperkirakan masih akan tertekan. Sebagai catatan, China hanya boleh membeli batu bara di kisaran 20 juta ton pada dua bulan terakhir tahun ini.

Kebijakan ini dilakukan pemerintah China dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini. Selain itu, kondisi stok yang berlebih di China juga menjadi alasan pemerintah untuk membatasi impor batu bara.

Sebagai informasi, impor batu bara China sudah turun 13,15% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka 19,15 juta MT pada November 2018, berdasarkan data bea perdagangan yang dirilis awal bulan ini. Level itu merupakan yang terendah sejak Februari 2017.

China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Dinamika permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.

Penguatan Yuan China Stabilkan Harga Batu Bara

Meski demikian, kemarin ada sentimen positif yang lumayan menyokong pergerakan harga batu bara. Yuan China tercatat mampu menguat 3 hari beruntun terhadap dolar Amerika Serikat (AS), hingga penutupan tanggal 26 Desember 2018.

Sebelum libur natal kemarin, dolar AS memang cenderung menderita. Berbagai risiko muncul menghantam pasar keuangan Negeri Paman Sam, dari mulai ditutupnya pemerintahan AS (government shutdown) hingga serangan lanjutan Presiden AS Donald Trump terhadap The Federal Reserve/The Fed.

Belum lagi, pekan lalu The Fed menurunkan target suku bunga acuan pada akhir 2019 dari awalnya di median 3,1% menjadi 2,8%. Artinya, suku bunga acuan kemungkinan naik setidaknya dua kali tahun depan, lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. 

Sejumlah sentimen tersebut ampuh untuk membuat sebagian mata uang Asia, termasuk yuan China, mampu menguat di hadapan dolar AS dalam beberapa hari terakhir.

Penguatan yuan China terhadap greenback lantas membuat biaya impor batu bara Negeri Panda menjadi relatif lebih murah. Hal ini menjadi sentimen bahwa permintaan batu bara China masih bisa menguat. Pada akhirnya, harga batu bara masih mampu stabil di tengah gempuran sentimen negatif yang ada.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)

(RHG/wed) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular