
Ditutup Rp 14.570/US$, Rupiah Jadi Terlemah Kedua di Asia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 December 2018 17:07

Investor memilih bermain aman dengan memeluk dolar AS selaku safe haven, seiring dengan konfirmasi datangnya resesi yang kian dekat. Hingga pukul 16.26 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) menguat hingga 0,13%.
Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.
Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Namun, konfirmasi datangnya resesi tak cukup mengandalkan spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Konfirmasi biasanya datang dari spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun.
Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 tahun dan 5 tahun.
Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -29 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya jauh menipis dari posisi penutupan terakhirnya (24/12/2018) yang sebesar -37 bps atau semakin mengarah ke inversi.
Jika dibandingkan dengan posisi awal November yang sebesar -82 bps, penipisan yang terjadi menjadi kian parah.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan menglami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS terkapar, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Tidak hanya itu, penutupan pemerintahan AS turut menambah kekhawatiran investor akibat ketidakpastian politik itu. Senat AS tidak mampu memecah kebuntuan terkait permintaan Presiden AS Donald Trump yang menginginkan alokasi dana bagi pembangunan tembok batas dengan Meksiko. Seorang pejabat senior mengatakan government shutdown itu akan berlanjut hingga 3 Januari mendatang.
Sejumlah risiko besar ini akhirnya memaksa investor untuk meninggalkan aset-aset berisiko dan beralih ke instrumen safe haven. Selain dolar AS, instrumen lainnya yang menjadi pilihan utama investor adalah emas. Hingga pukul 16.26 WIB, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 menguat hingga 0,31% ke US$ 1.275,7/ounce.
Lantas mengapa rupiah menjadi salah satu mata uang yang melemah cukup dalam? Nampaknya hal ini juga disebabkan oleh sentimen dalam negeri juga cenderung tidak bersahabat.
Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 6%. Padahal sebelumnya bank sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5% atau median 3,275%. Ini membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi kurang pemanis. Tidak ada insentif lebih bagi investor, khususnya asing, untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian, ada kekhawatiran investor soal prospek transaksi berjalan (current account) kuartal IV-2018. Pada hari Kamis (20/12/2018), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 masih akan berada di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). (RHG/RHG)
Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.
Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 tahun dan 5 tahun.
Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -29 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya jauh menipis dari posisi penutupan terakhirnya (24/12/2018) yang sebesar -37 bps atau semakin mengarah ke inversi.
Jika dibandingkan dengan posisi awal November yang sebesar -82 bps, penipisan yang terjadi menjadi kian parah.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan menglami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS terkapar, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Tidak hanya itu, penutupan pemerintahan AS turut menambah kekhawatiran investor akibat ketidakpastian politik itu. Senat AS tidak mampu memecah kebuntuan terkait permintaan Presiden AS Donald Trump yang menginginkan alokasi dana bagi pembangunan tembok batas dengan Meksiko. Seorang pejabat senior mengatakan government shutdown itu akan berlanjut hingga 3 Januari mendatang.
Sejumlah risiko besar ini akhirnya memaksa investor untuk meninggalkan aset-aset berisiko dan beralih ke instrumen safe haven. Selain dolar AS, instrumen lainnya yang menjadi pilihan utama investor adalah emas. Hingga pukul 16.26 WIB, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 menguat hingga 0,31% ke US$ 1.275,7/ounce.
Lantas mengapa rupiah menjadi salah satu mata uang yang melemah cukup dalam? Nampaknya hal ini juga disebabkan oleh sentimen dalam negeri juga cenderung tidak bersahabat.
Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 6%. Padahal sebelumnya bank sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5% atau median 3,275%. Ini membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi kurang pemanis. Tidak ada insentif lebih bagi investor, khususnya asing, untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian, ada kekhawatiran investor soal prospek transaksi berjalan (current account) kuartal IV-2018. Pada hari Kamis (20/12/2018), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 masih akan berada di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). (RHG/RHG)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular