Terpuruk, Sudah 3 Hari Beruntun Harga CPO Amblas 1% Lebih

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 December 2018 13:27
Pada perdagangan hari ini Rabu (26/12/2018), harga CPO kontrak Maret 2019 di Bursa Derivatif Malaysia amblas 1,17% ke level MYR 2.103/ton.
Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini Rabu (26/12/2018), harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kontrak Maret 2019 di Bursa Derivatif Malaysia amblas 1,17% ke level MYR 2.103/ton.  

Harga CPO kini sudah terkoreksi selama 4 hari berturut-turut. Bahkan, dalam 3 hari terakhir, harga komoditas agrikultur unggulan Indonesia dan Malaysia ini anjlok hingga 1% lebih (termasuk pergerakan siang ini).

BACA: Sambut Natal, Harga CPO Amblas 1% Lebih

Sejumlah sentimen memang menjadi pemberat harga CPO. Dari mulai ekspektasi meningkatnya produksi serta melemahnya ekspor di Malaysia, penguatan ringgit Malaysia, hingga hancurnya harga minyak mentah.
 

Tim Riset CNBC Indonesia mengelaborasi satu per satu rangkaian sentimen negatif tersebut dalam tulisan ini.  



Pertama, Malaysian Palm Oil Association mengumumkan bahwa produksi minyak kelapa sawit di periode 1-20 Desember meningkat 5,6% secara bulanan (month-to-month/MtM). Hal ini cukup mengejutkan pasar. Pasalnya, sebelumnya produksi CPO di Negeri Jiran justru diperkirakan akan menurun di bulan terakhir tahun ini, pasca dua bulan sebelumnya memang mencapai puncaknya secara musiman.

Tak ayal, sentimen ini langsung menyeret harga CPO ke zona merah.
 Apalagi, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia diekspektasikan mengendur pada bulan ini. Surveyor kargo Intertek Testing Services mengumumkan penurunan ekspor sebesar 2,5% MtM pada periode 1-25 Desember. Sedangkan, Amspec Agri Malaysia melaporkan pengiriman CPO Malaysia menurun hingga 6,4% MtM di periode yang sama. 

Saat produksi bertambah tapi ekspor justru lesu, maka kini pelaku pasar berekspektasi bahwa stok CPO di Negeri Jiran masih akan melambung di Bulan Desember.  

Sebagai informasi, stok CPO Malaysia sudah meningkat 10,5% MtM ke angka 3,01 juta ton per November 2018, yang merupakan rekor tertinggi dalam 18 tahun terakhir. Saat peningkatan stok berlanjut, tentu harga akan tertekan.  

Kedua, nilai tukar ringgit Malaysia menguat hingga 0,14% hingga pukul 13.06 WIB siang ini. Apresiasi ringgit nampaknya tidak lepas dari dolar AS yang secara umum sedang tertekan. 

Berbagai sentimen negatif memang sedang menghantui greenback, termasuk meningkatnya kecemasan pasar terkait penutupan sebagian aktivitas pemerintahan Negeri Paman Sam dan ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dengan bank sentral The Federal Reserve/The Fed. 

Penguatan ringgit Malaysia akan membuat harga CPO (yang diperdagangkan dengan denominasi ringgit) menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang asing.  Alhasil, permintaan CPO pun diekspektasikan akan menurun.  

Ketiga, harga minyak jenis Brent dan light sweet (WTI) kompak amblas hingga 6% pada perdagangan sebelum libur Natal (Senin, 24 Desember 2018). 

Dengan pergerakan itu, harga minyak Brent jatuh ke level terendah sejak Agustus 2017. Sementara itu, jenis WTI juga tenggelam ke titik terendahnya sejak Juni 2017. 

Masalah fundamental masih menghantui harga si emas hitam. Pasokan membanjir, sementara permintaan justru diekspektasikan lesu akibat perlambatan ekonomi dunia. 

Sebagai informasi, penurunan harga minyak mentah memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia turun, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen bahwa permintaan CPO akan menurun.  

(TIM RISET CNBC INDONESIA)

(RHG/gus) Next Article 4 Hari Melemah, Harga CPO Mulai Naik Kembali

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular