
Internasional
Ini 3 Alasan JPMorgan Anjurkan Investor Beli Saham Asia
Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
21 December 2018 19:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham Asia telah bergejolak sepanjang 2018, dengan berbagai bursa utama akan mengakhiri tahun ini di wilayah negatif. Namun, JPMorgan Asset Management mengatakan menyukai saham-saham Benua Kuning.
Pasar China dan Hong Kong sejauh ini menjadi pecundang terbesar di Asia. Indeks Shenzhen telah jatuh sekitar 30% tahun ini, sedangkan indeks Shanghai telah menorehkan kerugian lebih dari 20%. Di Hong Kong, indeks Hang Seng telah turun hampir 15%.
Pasar Asia lainnya juga tak lolos dari ujian. Nikkei 225 Jepang turun lebih dari 10% tahun ini, sementara Kospi di Korea Selatan anjlok hampir 17%.
"Pasar sangat sulit tahun ini, tetapi sebenarnya kami tetap memandang positif Asia dalam jangka panjang. Dan kami pikir sekarang adalah waktu untuk membangun posisi strategis," kata Janet Tsang, spesialis investasi pasar berkembang dan Asia Pasifik di manajemen Aset di JPMorgan Asset Management, kepada CNBC "Street Signs", Jumat (21/12/2018).
Tsang bukan satu-satunya yang menyukai pasar Asia. Kepala strategi ekuitas Morgan Stanley untuk Asia dan pasar negara berkembang, Jonathan Garner, mengatakan kepada CNBC pada hari Kamis bahwa dia "sangat bullish" pada pasar ini.
Optimisme seperti itu datang saat investor semakin khawatir tentang perlambatan ekonomi global. Ketakutan itu telah membuat pasar keuangan seluruh dunia bergejolak dalam beberapa bulan terakhir.
Tetapi Tsang mengatakan ada tiga alasan mengapa investor harus tetap berinvestasi di Asia.
Dolar AS cenderung melemah
Kekuatan dolar Amerika Serikat (AS) telah merugikan pasar Asia tahun ini. Itu karena investor, yang terpikat oleh ekonomi Amerika yang kuat dan potensi imbal hasil yang lebih baik di sana, mengalihkan uang mereka ke Negeri Paman Sam.
Tetapi, ada sejumlah alasan mengapa tren itu bisa berbalik arah, menurut Tsang. Pertama, bank sentral Federal Reserve secara luas diperkirakan akan berhenti menaikkan suku bunga beberapa tahun mendatang karena pertumbuhan di AS melambat. Hal ini akan membatasi penguatan greenback.
Kedua, AS menghadapi defisit neraca fiskal dan transaksi berjalan. Defisit fiskal berarti pemerintah membelanjakan lebih dari yang dihasilkannya, dan defisit akun saat ini terjadi ketika nilai impor AS melebihi yang diekspornya. Kedua contoh negatif untuk greenback, Tsang mencatat.
"Fed AS berpotensi menghentikan sementara laju (kenaikan) suku bunganya di 2019, begitu juga pertumbuhan di AS yang memuncak, ditambah dengan defisit kembar di AS, dolar kemungkinan akan kembali menghadapi pelemahan," katanya, dilansir dari CNBC International, Jumat (21/12/2018).
Ketegangan perdagangan AS-China
Banyak perekonomian negara Asia sangat bergantung pada perdagangan dan memiliki rantai pasokan yang terkait dengan China. Oleh karena itu, tarif impor tambahan yang dikenakan oleh AS atas barang-barang Negeri Tirai Bambu juga merupakan ancaman bagi negara-negara Asia lainnya.
Tetapi, banyak hal negatif dari perang perdagangan AS-China telah di-price in oleh pasar, kata Tsang. Itu berarti harga saham sebagian besar telah memperhitungkan faktor-faktor yang akan memengaruhi pergerakan masa depan mereka. Jadi, dia berpendapatini pasar di kawasan itu seharusnya stabil.
"Dengan gencatan senjata 90 hari dan China lebih banyak berkompromi, kami percaya bahwa pasar akan dapat menemukan beberapa stabilisasi di sini," kata Tsang.
Laba perusahaan dalam 'kondisi yang baik'
Meskipun sentimen negatif berlaku pada saham Asia, laba perusahaan sebenarnya tetap "dalam kondisi yang baik," kata Tsang.
Selain itu, valuasi saham juga telah disesuaikan dengan metrik keuangan utama (rasio price-to-book) untuk saham Asia yang sekarang diperdagangkan di bawah rata-rata jangka panjangnya, katanya.
Rasio price-to-book mengukur nilai pasar perusahaan terhadap aset bersihnya. Rasio yang lebih rendah biasanya berarti suatu saham undervalued.
Di Asia, rasio itu menunjukkan imbal hasil yang "sangat layak" dalam 12 bulan ke depan, kata Tsang.
"Jadi secara keseluruhan, dengan risiko yang akan mereda dan fundamental tetap solid, kami percaya bahwa ekuitas Asia akan terlihat lebih baik pada 2019," katanya.
(prm) Next Article JPMorgan: Bursa Asia Akan Beri Cuan Terbaik di Semester I
Pasar China dan Hong Kong sejauh ini menjadi pecundang terbesar di Asia. Indeks Shenzhen telah jatuh sekitar 30% tahun ini, sedangkan indeks Shanghai telah menorehkan kerugian lebih dari 20%. Di Hong Kong, indeks Hang Seng telah turun hampir 15%.
Pasar Asia lainnya juga tak lolos dari ujian. Nikkei 225 Jepang turun lebih dari 10% tahun ini, sementara Kospi di Korea Selatan anjlok hampir 17%.
Tsang bukan satu-satunya yang menyukai pasar Asia. Kepala strategi ekuitas Morgan Stanley untuk Asia dan pasar negara berkembang, Jonathan Garner, mengatakan kepada CNBC pada hari Kamis bahwa dia "sangat bullish" pada pasar ini.
Optimisme seperti itu datang saat investor semakin khawatir tentang perlambatan ekonomi global. Ketakutan itu telah membuat pasar keuangan seluruh dunia bergejolak dalam beberapa bulan terakhir.
Tetapi Tsang mengatakan ada tiga alasan mengapa investor harus tetap berinvestasi di Asia.
Dolar AS cenderung melemah
Kekuatan dolar Amerika Serikat (AS) telah merugikan pasar Asia tahun ini. Itu karena investor, yang terpikat oleh ekonomi Amerika yang kuat dan potensi imbal hasil yang lebih baik di sana, mengalihkan uang mereka ke Negeri Paman Sam.
Tetapi, ada sejumlah alasan mengapa tren itu bisa berbalik arah, menurut Tsang. Pertama, bank sentral Federal Reserve secara luas diperkirakan akan berhenti menaikkan suku bunga beberapa tahun mendatang karena pertumbuhan di AS melambat. Hal ini akan membatasi penguatan greenback.
![]() |
Kedua, AS menghadapi defisit neraca fiskal dan transaksi berjalan. Defisit fiskal berarti pemerintah membelanjakan lebih dari yang dihasilkannya, dan defisit akun saat ini terjadi ketika nilai impor AS melebihi yang diekspornya. Kedua contoh negatif untuk greenback, Tsang mencatat.
"Fed AS berpotensi menghentikan sementara laju (kenaikan) suku bunganya di 2019, begitu juga pertumbuhan di AS yang memuncak, ditambah dengan defisit kembar di AS, dolar kemungkinan akan kembali menghadapi pelemahan," katanya, dilansir dari CNBC International, Jumat (21/12/2018).
Ketegangan perdagangan AS-China
Banyak perekonomian negara Asia sangat bergantung pada perdagangan dan memiliki rantai pasokan yang terkait dengan China. Oleh karena itu, tarif impor tambahan yang dikenakan oleh AS atas barang-barang Negeri Tirai Bambu juga merupakan ancaman bagi negara-negara Asia lainnya.
Tetapi, banyak hal negatif dari perang perdagangan AS-China telah di-price in oleh pasar, kata Tsang. Itu berarti harga saham sebagian besar telah memperhitungkan faktor-faktor yang akan memengaruhi pergerakan masa depan mereka. Jadi, dia berpendapatini pasar di kawasan itu seharusnya stabil.
![]() |
"Dengan gencatan senjata 90 hari dan China lebih banyak berkompromi, kami percaya bahwa pasar akan dapat menemukan beberapa stabilisasi di sini," kata Tsang.
Laba perusahaan dalam 'kondisi yang baik'
Meskipun sentimen negatif berlaku pada saham Asia, laba perusahaan sebenarnya tetap "dalam kondisi yang baik," kata Tsang.
Selain itu, valuasi saham juga telah disesuaikan dengan metrik keuangan utama (rasio price-to-book) untuk saham Asia yang sekarang diperdagangkan di bawah rata-rata jangka panjangnya, katanya.
Rasio price-to-book mengukur nilai pasar perusahaan terhadap aset bersihnya. Rasio yang lebih rendah biasanya berarti suatu saham undervalued.
Di Asia, rasio itu menunjukkan imbal hasil yang "sangat layak" dalam 12 bulan ke depan, kata Tsang.
"Jadi secara keseluruhan, dengan risiko yang akan mereda dan fundamental tetap solid, kami percaya bahwa ekuitas Asia akan terlihat lebih baik pada 2019," katanya.
(prm) Next Article JPMorgan: Bursa Asia Akan Beri Cuan Terbaik di Semester I
Most Popular