
The Fed Naikkan Bunga 2 Kali Tahun Depan, IHSG Jatuh 0,86%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 December 2018 12:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali hari dengan pelemahan sebesar 0,5%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memperlebar kekalahannya menjadi 0,86% per akhir sesi 1 ke level 6.123,11.
Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga diperdagangkan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,97%, indeks Shanghai turun 0,95%, indeks Hang Seng turun 1,42%, indeks Strait Times turun 0,39%, dan indeks Kospi turun 1,33%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 4,95 triliun dengan volume sebanyak 5,68 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 222.470 kali.
Rupiah yang babak belur membuat pasar saham tanah air ditinggalkan oleh investor. Hingga tengah hari, rupiah melemah sebesar 0,31% di pasar spot ke level Rp 14.480/dolar AS.
Rupiah dipukul mundur seiring dengan kabar negatif yang datang dari hasil pertemuan The Federal Reserve selaku bank sentral AS. Pada dini hari tadi, The Fed memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps.
Lebih lanjut, The Fed memproyeksikan kenaikan sebanyak 2 kali (50 bps) pada tahun depan, turun dari proyeksi sebelumnya yang sebanyak 3 kali (75 bps).
Namun, pelaku pasar sebenarnya mengharapkan bahwa The Fed akan lebih berani dalam mengerem normalisasinya. Hingga kemarin sore, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures, probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% (tidak ada kenaikan suku bunga acuan) pada tahun 2019 adalah sebesar 46,7%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 23,9%.
The Fed masih akan agresif dalam menaikkan tingkat suku bunga acuan terlepas dari diturunkannya proyeksi pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan sebesar 3%, turun 10 bps dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,1%. Untuk tahun 2019, angkanya diproyeksikan melandai ke level 2,3%, juga lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 2,5%.
Ditengah perang dagang dengan China yang belum benar-benar usai, normalisasi yang kelewat agresif dikhawatirkan akan memukul perekonomian AS lebih dalam dari yang diproyeksikan The Fed.
Apalagi, The Fed masih akan terus mengurangi besaran dari neracanya, yang berarti suntikan likuiditas ke pasar akan berkurang.
"Saya rasa pengurangan di neraca berlangsung mulus dan sesuai dengan tujuan awalnya. Saya tidak akan mengubah itu," tegas Powell dalam konferensi pers, mengutip Reuters.
Sebagai informasi, sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu, The Fed rajin membeli surat-surat berharga untuk memberikan stimulus kepada perekonomian AS (quantitative easing).
Pada akhirnya, dolar AS menjadi lebih diminati investor ketimbang rupiah.
Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga diperdagangkan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,97%, indeks Shanghai turun 0,95%, indeks Hang Seng turun 1,42%, indeks Strait Times turun 0,39%, dan indeks Kospi turun 1,33%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 4,95 triliun dengan volume sebanyak 5,68 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 222.470 kali.
Rupiah dipukul mundur seiring dengan kabar negatif yang datang dari hasil pertemuan The Federal Reserve selaku bank sentral AS. Pada dini hari tadi, The Fed memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps.
Lebih lanjut, The Fed memproyeksikan kenaikan sebanyak 2 kali (50 bps) pada tahun depan, turun dari proyeksi sebelumnya yang sebanyak 3 kali (75 bps).
Namun, pelaku pasar sebenarnya mengharapkan bahwa The Fed akan lebih berani dalam mengerem normalisasinya. Hingga kemarin sore, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures, probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% (tidak ada kenaikan suku bunga acuan) pada tahun 2019 adalah sebesar 46,7%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 23,9%.
The Fed masih akan agresif dalam menaikkan tingkat suku bunga acuan terlepas dari diturunkannya proyeksi pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan sebesar 3%, turun 10 bps dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,1%. Untuk tahun 2019, angkanya diproyeksikan melandai ke level 2,3%, juga lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 2,5%.
Ditengah perang dagang dengan China yang belum benar-benar usai, normalisasi yang kelewat agresif dikhawatirkan akan memukul perekonomian AS lebih dalam dari yang diproyeksikan The Fed.
Apalagi, The Fed masih akan terus mengurangi besaran dari neracanya, yang berarti suntikan likuiditas ke pasar akan berkurang.
"Saya rasa pengurangan di neraca berlangsung mulus dan sesuai dengan tujuan awalnya. Saya tidak akan mengubah itu," tegas Powell dalam konferensi pers, mengutip Reuters.
Sebagai informasi, sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu, The Fed rajin membeli surat-surat berharga untuk memberikan stimulus kepada perekonomian AS (quantitative easing).
Pada akhirnya, dolar AS menjadi lebih diminati investor ketimbang rupiah.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular