
Menerawang Kebijakan The Fed dan BI Tahun Depan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 December 2018 12:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed dini hari tadi mengkonfirmasi penerawangan pelaku pasar. Tahun depan, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat masih akan menaikkan suku bunga acuan, tetapi tidak seagresif tahun ini.
Pertama, dini hari tadi Federal Funds Rate dinaikkan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5% atau median 2,375%. Kenaikan suku bunga acuan ini ini sesuai dengan perkiraan, sudah diperhitungkan sejak berbulan-bulan lalu.
Kedua, The Fed menurunkan target suku bunga acuan pada akhir 2019 dari awalnya di median 3,1% menjadi 2,8%. Artinya, suku bunga acuan kemungkinan naik setidaknya dua kali tahun depan, lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Ini juga sesuai dengan prediksi pelaku pasar. Konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
The Fed sepertinya masih menjaga posisi (stance) ketat alias hawkish untuk tahun depan. Namun kadarnya berkurang karena awalnya suku bunga acuan diperkirakan naik tiga kali tahun depan.
Oleh karena itu, sepertinya dolar Amerika Serikat (AS) tidak akan sesangar tahun ini. Sejak awal tahun ini, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 5,27%.
Keperkasaan dolar AS ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan yang mencapai 100 bps. Saat laju kenaikan suku bunga acuan berkurang setengahnya dari empat kali menjadi dua kali, maka dampaknya terhadap dolar AS kemungkinan akan signifikan. Kejayaan dolar AS akan sulit terulang tahun depan.
Ditambah lagi dolar AS akan mendapat sparring partner kuat bernama euro. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) akan mulai menaikkan suku bunga pada musim panas atau tengah tahun 2019. Ini akan membuat euro menjadi menarik, kerena kenaikan suku bunga akan diikuti oleh kenaikan imbalan investasi.
BI di bawah komando Gubernur BI, Perry Warjiyo, memiliki tiga prinsip yang selalu dipegang yaitu preemptive, front loading, dan ahead the curve. Intinya, BI jangan sampai ketinggalan kereta. Jangan sampai terlambat mengikuti tren kebijakan suku bunga global.
Jika pada 2019 The Fed masih relatif hawkish dan ECB mulai mengetatkan kebijakan moneter, maka ada kemungkinan BI akan melakukan hal yang sama bahkan mungkin mendahului. Ini sesuai dengan prinsip preemtif, front loading, dan ahead the curve.
Selain itu, ada kemungkinan ekonomi Indonesia pada 2019 membaik ketimbang 2018. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 5,17%, sedangkan tahun depan diperkirakan 5,3%.
Setiap kali ekonomi Indonesia membaik, pasti akan ada lonjakan impor. Sebab, industri dalam negeri belum mampu memenuhi peningkatan permintaan terutama untuk bahan baku dan barang modal. Oleh karena itu, defisit transaksi berjalan (current account) biasanya akan membengkak kala ekonomi membaik.
Transaksi berjalan menjadi kata-kata penting dalam penentuan arah kebijakan moneter. Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, pernah menyatakan bahwa kebijakan moneter saat ini bukan lagi didorong untuk pengendalian inflasi (inflationary driven monetary policy), melainkan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. Kenaikan suku bunga acuan ditempuh untuk memperlambat laju ekonomi, sehingga impor berkurang dan defisit transaksi berjalan bisa ditekan.
"Memang ke depan kalau suku bunga meningkat pasti akan mempengaruhi investasi dan impor. Defisit trade balance akan berkurang seiring investasi yang berkurang. Current account masih perlu dibantu, BI masuk dengan kebijakan suku bunga untuk meredam domestic demand. Kita cegah defisit transaksi berjalan terus melebar dan berdampak ke nilai tukar," jelas Dody beberapa waktu lalu.
Apabila prinsip membantu transaksi berjalan masih dipegang pada tahun depan, maka BI kemungkinan tetap dalam posisi hawkish. Sebab, masih ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan akibat perbaikan ekonomi.
Well, sekarang 2019 saja belum. Kebijakan ekonomi adalah sesuatu yang dinamis, tidak kaku dan bisa berubah arah sewaktu-waktu. Namun pembacaan awal untuk perkiraan kondisi tahun depan menjadi penting bagi investor untuk menentukan posisi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article 'Doping' BI-The Fed Buat IHSG Melesat 5% Lebih, Dalam 2 Hari
Pertama, dini hari tadi Federal Funds Rate dinaikkan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5% atau median 2,375%. Kenaikan suku bunga acuan ini ini sesuai dengan perkiraan, sudah diperhitungkan sejak berbulan-bulan lalu.
Kedua, The Fed menurunkan target suku bunga acuan pada akhir 2019 dari awalnya di median 3,1% menjadi 2,8%. Artinya, suku bunga acuan kemungkinan naik setidaknya dua kali tahun depan, lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
The Fed sepertinya masih menjaga posisi (stance) ketat alias hawkish untuk tahun depan. Namun kadarnya berkurang karena awalnya suku bunga acuan diperkirakan naik tiga kali tahun depan.
Oleh karena itu, sepertinya dolar Amerika Serikat (AS) tidak akan sesangar tahun ini. Sejak awal tahun ini, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 5,27%.
Keperkasaan dolar AS ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan yang mencapai 100 bps. Saat laju kenaikan suku bunga acuan berkurang setengahnya dari empat kali menjadi dua kali, maka dampaknya terhadap dolar AS kemungkinan akan signifikan. Kejayaan dolar AS akan sulit terulang tahun depan.
Ditambah lagi dolar AS akan mendapat sparring partner kuat bernama euro. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) akan mulai menaikkan suku bunga pada musim panas atau tengah tahun 2019. Ini akan membuat euro menjadi menarik, kerena kenaikan suku bunga akan diikuti oleh kenaikan imbalan investasi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dengan posisi dolar AS yang tidak lagi digdaya, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Bank Indonesia (BI) masih akan hawkish pada 2019? BI di bawah komando Gubernur BI, Perry Warjiyo, memiliki tiga prinsip yang selalu dipegang yaitu preemptive, front loading, dan ahead the curve. Intinya, BI jangan sampai ketinggalan kereta. Jangan sampai terlambat mengikuti tren kebijakan suku bunga global.
Jika pada 2019 The Fed masih relatif hawkish dan ECB mulai mengetatkan kebijakan moneter, maka ada kemungkinan BI akan melakukan hal yang sama bahkan mungkin mendahului. Ini sesuai dengan prinsip preemtif, front loading, dan ahead the curve.
Selain itu, ada kemungkinan ekonomi Indonesia pada 2019 membaik ketimbang 2018. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 5,17%, sedangkan tahun depan diperkirakan 5,3%.
Setiap kali ekonomi Indonesia membaik, pasti akan ada lonjakan impor. Sebab, industri dalam negeri belum mampu memenuhi peningkatan permintaan terutama untuk bahan baku dan barang modal. Oleh karena itu, defisit transaksi berjalan (current account) biasanya akan membengkak kala ekonomi membaik.
Transaksi berjalan menjadi kata-kata penting dalam penentuan arah kebijakan moneter. Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, pernah menyatakan bahwa kebijakan moneter saat ini bukan lagi didorong untuk pengendalian inflasi (inflationary driven monetary policy), melainkan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. Kenaikan suku bunga acuan ditempuh untuk memperlambat laju ekonomi, sehingga impor berkurang dan defisit transaksi berjalan bisa ditekan.
"Memang ke depan kalau suku bunga meningkat pasti akan mempengaruhi investasi dan impor. Defisit trade balance akan berkurang seiring investasi yang berkurang. Current account masih perlu dibantu, BI masuk dengan kebijakan suku bunga untuk meredam domestic demand. Kita cegah defisit transaksi berjalan terus melebar dan berdampak ke nilai tukar," jelas Dody beberapa waktu lalu.
Apabila prinsip membantu transaksi berjalan masih dipegang pada tahun depan, maka BI kemungkinan tetap dalam posisi hawkish. Sebab, masih ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan akibat perbaikan ekonomi.
Well, sekarang 2019 saja belum. Kebijakan ekonomi adalah sesuatu yang dinamis, tidak kaku dan bisa berubah arah sewaktu-waktu. Namun pembacaan awal untuk perkiraan kondisi tahun depan menjadi penting bagi investor untuk menentukan posisi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article 'Doping' BI-The Fed Buat IHSG Melesat 5% Lebih, Dalam 2 Hari
Most Popular