Kala Lagu Iwan Fals Cocok Gambarkan Nasib Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 December 2018 09:33
Kala Lagu Iwan Fals Cocok Gambarkan Nasib Rupiah
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Roda nasib memang berputar, begitu kata Iwan Fals dalam tembang Belum Ada Judul. Sepertinya kalimat itu cocok untuk menggambarkan nasib rupiah. 

Kemarin, rupiah berjaya dengan penguatan 0,72% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kala penutupan pasar spot. Penguatan itu menjadikan rupiah sebagai mata uang terbaik di Asia, tidak ada mata uang lain yang menguat lebih tajam dibandingkan rupiah. 


Namun hari ini, Jumat (14/12/2018), roda nasib berputar. Rupiah melemah sejak pembukaan pasar spot, dan seiring perjalanan depresiasinya semakin dalam. 


Pada pukul 09:08 WIB, US$ 1 ditransaksikan Rp 14.540 Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Bila kemarin rupiah jadi raja Asia, kini situasinya berbalik signifikan. Rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dibandingkan won Korea Selatan. 


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 09:08 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS memang sedang sulit ditandingi. Pada pukul 09:10 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,04%. 

Faktor domestik dan eksternal sedang mendukung penguatan dolar AS. Dari dalam negeri, klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 8 Desember turun 27.000 menjadi 206.000. Lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 225.000. 

Pasar tenaga kerja AS yang semakin membaik kian membuka pintu bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pada rapat pekan depan. mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 bps dalam rapat 19 Desember adalah 77,5%. Lebih tinggi dari posisi sepekan lalu yaitu 70,6%. 

Kenaikan suku bunga acuan menjadi obat mujarab bagi keperkasaan dolar AS. Kala suku bunga acuan naik, maka imbalan investasi di Negeri Adidaya akan ikut terkerek sehingga membuat investor bernafsu memburu greenback

Sementara dari sisi eksternal, investor kian cemas dengan risiko resesi di Negeri Paman Sam. Ini terus terlihat di pasar obligasi, di mana imbal hasil (yield) surat utang tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang. 

Pada pukul 09:14 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7517% sementara tenor 3 tahun berada di 2,7426%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7376%. 

Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek. 

Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020. 

Risiko yang sedang tinggi ini membuat investor mau tidak mau mencari selamat masing-masing. Caranya adalah menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang dan kembali ke pelukan aset aman (safe haven) seperti dolar AS atau yen Jepang. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara data regional juga kurang suportif terhadap pasar keuangan Asia. Produksi industri China periode November tercatat tumbuh 5,4% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 5,9% YoY. 

Kemudian penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada November naik 8,1% YoY, melambat dibandingkan Oktober yang mampu tumbuh 8,6% YoY. Pertumbuhan penjualan ritel pada November menjadi yang terlemah sejak Mei 2003. 

Data-data ekonomi di China tersebut membuat pelaku pasar untuk sementara menghindari Asia, termasuk Indonesia. Akibatnya rupiah kekurangan suntikan arus modal sehingga terjebak di zona merah. 

Lalu dari dalam negeri, tidak ada sentimen yang bisa menopang rupiah. Bahkan yang ada justru semakin membebani. 

Awal pekan depan, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data neraca perdagangan edisi November. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan akan defisit cukup dalam yaitu US$ 1,31 miliar. Pada Oktober, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 1,82 miliar. 

Defisit neraca perdagangan yang kemungkinan terjadi 2 bulan beruntun ini menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018? Apakah akan kembali mencatatkan defisit yang dalam seperti kuartal sebelumnya? 

Nasib transaksi berjalan yang di ujung tanduk ini tentu berdampak kepada rupiah. Mata uang Tanah Air akan tetap kekurangan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa sehingga sulit menguat.   


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular