
Produksi Minyak Lesu, Saatnya RI Hijrah ke Gas
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
14 December 2018 10:44

Setidaknya ada dua alasan utama yang menjadi alasan mengapa RI amat membutuhkan percepatan penggunaan gas alam di tanah air.
[Gambas:Video CNBC]
Pertama, kesadaran dunia yang semakin besar terhadap ancaman emisi Gas Rumah Kaca (GRK), yang kemudian melahirkan Paris Agreement pada Conference of Parties ke-21 (COP-21) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Paris.
Paris Agreement berisi kesepakatan-kesepakatan dari negara anggota, yang pada intinya menyetujui ambang suhu berada di bawah 2 derajat Celsius mengarah dengan cepat ke arah 1,5 derajat Celsius. Indonesia kemudian menandatangani Paris Agreement tersebut pada tanggal 22 April 2016 yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.
Paris Agreement ini kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Sebagai komitmen Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pada COP-21 bahwa target penurunan emisi GRK Indonesia adalah sebesar 29 % atas upaya sendiri dan 41 % atas dukungan Internasional (bantuan luar negeri), pada tahun 2030.
Dari angka 29% di atas, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi GRK sebesar 314 juta ton karbon dioksida pada 2030, atau pengurangan 11% dari kondisi business as usual (BAU).
Target ini kemudian menjadi dasar bagi Indonesia dalam membuat dokumen Nationally Determined Contribution Indonesia (NDC) yang kemudian diserahkan kepada UNFCCC. Pengarusutamaan gas alam sebagai sumber energi, yang memiliki level emisi terendah dibandingkan energi fosil lainnya, akan amat mendukung pemerintah dalam mencapai komitmen global tersebut.
Kedua, defisit perdagangan migas yang semakin parah saja. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada triwulan III-2018 tercatat sebesar US$ 8,85 miliar. Angka ini setara dengan 3,37% dari Produk Domstik Bruto (PDB).
Apabila ditelusuri secara historis, CAD kuartal lalu merupakan yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014. Kala itu, CAD mencapai US$ 9,58 miliar, atau sekitar 4,26% dari PDB.
Salah satu penyebab melebarnya CAD adalah neraca perdagangan barang yang berbalik arah menjadi defisit sebesar US$ 398 juta pada kuartal III-2018, pasca selalu mencatatkan surplus sejak kuartal III-2014.
Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang adalah defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal III-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar.
Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia. Sebagai catatan, Tim Riset CNBC Indonesia menelusuri data yang tersedia di situs resmi BI, di mana data yang tersedia paling lama adalah tahun 2005.
Data transaksi berjalan selalu menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pasalnya, data ini menjadi gambaran aliran valas yang lebih jangka panjang karena datang dari sektor perdagangan. Ketika transaksi berjalan defisit, fundamental ekonomi (khususnya nilai tukar) menjadi kurang kuat karena minim pasokan valas yang berkesinambungan alias sustain.
Impor minyak yang membengkak sudah menjadi pengetahuan umum, namun diam-diam yang jadi masalah lagi buat RI adalah impor LPG. Impor LPG ini sebenarnya bisa berkurang signifikan jika pengembangan gas bumi dan pembangunan infrastruktur seperti gas pipa dikembangkan. Serapan gas pun semakin menarik untuk investor.
Berkurangnya impor migas (akibat diversifikasi energi primer ke sumber gas alam) akan membuat beban neraca perdagangan barang menjadi berkurang. Artinya, CAD bisa menipis, sehingga dapat berpengaruh positif terhadap kinerja rupiah. Masyarakat RI tidak perlu khawatir lagi melihat rupiah yang melemah dalam seperti tahun ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(gus)
[Gambas:Video CNBC]
Pertama, kesadaran dunia yang semakin besar terhadap ancaman emisi Gas Rumah Kaca (GRK), yang kemudian melahirkan Paris Agreement pada Conference of Parties ke-21 (COP-21) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Paris.
Paris Agreement berisi kesepakatan-kesepakatan dari negara anggota, yang pada intinya menyetujui ambang suhu berada di bawah 2 derajat Celsius mengarah dengan cepat ke arah 1,5 derajat Celsius. Indonesia kemudian menandatangani Paris Agreement tersebut pada tanggal 22 April 2016 yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.
![]() |
Target ini kemudian menjadi dasar bagi Indonesia dalam membuat dokumen Nationally Determined Contribution Indonesia (NDC) yang kemudian diserahkan kepada UNFCCC. Pengarusutamaan gas alam sebagai sumber energi, yang memiliki level emisi terendah dibandingkan energi fosil lainnya, akan amat mendukung pemerintah dalam mencapai komitmen global tersebut.
Kedua, defisit perdagangan migas yang semakin parah saja. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada triwulan III-2018 tercatat sebesar US$ 8,85 miliar. Angka ini setara dengan 3,37% dari Produk Domstik Bruto (PDB).
Apabila ditelusuri secara historis, CAD kuartal lalu merupakan yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014. Kala itu, CAD mencapai US$ 9,58 miliar, atau sekitar 4,26% dari PDB.
![]() |
Salah satu penyebab melebarnya CAD adalah neraca perdagangan barang yang berbalik arah menjadi defisit sebesar US$ 398 juta pada kuartal III-2018, pasca selalu mencatatkan surplus sejak kuartal III-2014.
Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang adalah defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal III-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar.
Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia. Sebagai catatan, Tim Riset CNBC Indonesia menelusuri data yang tersedia di situs resmi BI, di mana data yang tersedia paling lama adalah tahun 2005.
![]() |
Data transaksi berjalan selalu menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pasalnya, data ini menjadi gambaran aliran valas yang lebih jangka panjang karena datang dari sektor perdagangan. Ketika transaksi berjalan defisit, fundamental ekonomi (khususnya nilai tukar) menjadi kurang kuat karena minim pasokan valas yang berkesinambungan alias sustain.
Impor minyak yang membengkak sudah menjadi pengetahuan umum, namun diam-diam yang jadi masalah lagi buat RI adalah impor LPG. Impor LPG ini sebenarnya bisa berkurang signifikan jika pengembangan gas bumi dan pembangunan infrastruktur seperti gas pipa dikembangkan. Serapan gas pun semakin menarik untuk investor.
Berkurangnya impor migas (akibat diversifikasi energi primer ke sumber gas alam) akan membuat beban neraca perdagangan barang menjadi berkurang. Artinya, CAD bisa menipis, sehingga dapat berpengaruh positif terhadap kinerja rupiah. Masyarakat RI tidak perlu khawatir lagi melihat rupiah yang melemah dalam seperti tahun ini.
![]() |
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular