Produksi Minyak Lesu, Saatnya RI Hijrah ke Gas

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
14 December 2018 10:44
Produksi Minyak Lesu, Saatnya RI Hijrah ke Gas
Foto: Istimewa PGN
Jakarta,CNBC Indonesia- Minyak menjadi komoditas yang seksi dalam beberapa dekade terakhir. Harga komoditas emas hitam ini saat puncaknya bisa mencapai lebih dari US$ 100 per barel, tapi saat merosot bisa anjlok ke bawah US$ 30 per barel.

Seperti menerka isi hati, tidak ada yang bisa memproyeksi harga minyak dengan tepat. Belakangan, minyak terus-terusan menjadi polemik. Ribut-ribut antar produsen untuk pangkas produksi demi menjaga harga, serta teriakan dari kubu importir jika harga mencekik.

Membuat komoditas ini lebih volatil.Namun seiring dinamisnya pasar minyak, pasar gas ikut terkerek. Energi yang semula dibakar cuma-cuma ini, malah jadi sorotan utama untuk gantikan mnyak.Keuntungan yang dimiliki minyak mentah lantas menyebabkan perkembagan pasar minyak global yang lebih mumpuni dalam 40 tahun terakhir atau lebih.

Akan tetapi, bukan berarti pasar gas alam tidak berkembang. Mengutip data dari BP Statistical Review of World Energy 2018, produksi gas alam terus mengalami peningkatan yang substansial. Dalam 10 tahun terakhir (2007-2017), produksi gas alam dunia telah meningkat 25% lebih, dari semula 284,6 miliar kaki kubik/hari menjadi 356,1 kaki miliar kubik/hari.Begitupun dari sisi konsumsi.

Dari tahun ke tahun, penggunaan gas sebagai sumber energi juga terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Pada tahun 2017, konsumsi gas dunia mencapai 355,1 miliar kaki kubik/hari, atau naik sekitar 24% dibandingkan tahun 2007.

Sengsara di Minyak, Saatnya RI Hijrah ke Gas Alam


Potensi dan Kondisi Gas RI
Lantas bagaimana perkembangan sektor gas alam di Indonesia? Menurut data Direktorat Jenderal (Ditjen) Migas per Januari 2017, cadangan gas alam konvensional RI mencapai 142,72 triliun standar kaki kubik (TSCF). Sebesar 100,36 TSCF merupakan cadangan terbukti, sedangkan 42,36 TSCF adalah cadangan potensial.

Selain dari gas alam konvensional, Indonesia memiliki potensi gas alam non-konvensional, yaknicoal bed methane (CBM) danshale gas, dengan potensi total mencapai 1.027 TSCF.Melihat data di atas, dapat dilihat bahwa gas alam sebenarnya masih jauh lebih melimpah dibandingkan cadangan terbukti minyak mentah yang saat ini berada di kisaran 3,17 miliar barel.

Apabila dikonvesi dengan faktor konversi sebesar 5.658,53 (mengacu padaSociety of Petroleum Engineers), maka jumlah itu "hanya" setara 18 TSCF.Apabila dikomparasikan di skala global, volume cadangan gas alam Indonesia berada di posisi ke-14 dunia, dengan sumbangan 1,51% dari total cadangan dunia.

Penyumbang terbesar adalah Federasi Rusia dengan cadangan mencapai 34,97 triliun meter kubik (sekitar 1.235 TSCF) di tahun lalu, atau menyumbang 18,1% dari total cadangan gas alam dunia.

Sengsara di Minyak, Saatnya RI Hijrah ke Gas Alam
Meski demikian, sejatinya dalam cadangan gas alam RI mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Ditjen Migas, cadangan gas alam konvensional RI mencapai 152,9 TSCF pada 2011. Artinya, dalam 6 tahun terakhir, cadangan gas alam tanah air sudah menurun sebesar 10,18 TSCF.

Penurunan cadangan tidak lepas dari produksi gas alam RI yang mengalami tren penurunan sejak tahun 2014. Berdasarkan data SKK Migas dan Ditjen Migas, produksi gas dalam negeri pada tahun 2017 mencapai 7.619,6 juta standar kaki kubik/hari (million standard cubic feet per day/MMSCFD), atau turun sebesar 598,27 MMSCFD dalam 3 tahun terakhir.

Sengsara di Minyak, Saatnya RI Hijrah ke Gas Alam
Dari produksi gas alam di tahun 2017 tersebut, terdapat 8% losses yang berupa impuritis, gas suar bakar, dan pengunaan sendiri, sehingga realisasi lifting pada tahun 2017 sebesar 6.607,65 MMSCFD.Dari lifting gas alam tersebut, 58,59% diserap oleh domestik, dan 41,41% untuk diekspor.

Pengguna terbesar di dalam negeri adalah sektor industri, yang menyerap 23,18% dari total produksi gas di tahun lalu.Sisanya, produksi gas RI dimanfaatkan oleh sektor kelistrikan (14,09%), sektor pupuk (10,64%),lifting migas (2,73%), LNG domestik (5,64%), LPG domestik (2,17%), dan program pemerintah Jargas Rumah Tangga dan SPBG (0,15%).

Lanjut Halaman Berikutnya, Amankah Potensi Pasokan Gas RI >>





Berdasarkan dokumen Neraca Gas Indonesia 2018-2027 yang dirilis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), proyeksi lifting gas alam akan mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun ke depan. 

Dari meningkat ke angka 7.452 MMSCFD di tahun 2018, kemudian mencapai puncaknya di tahun 2022 sebesar 8.661 MMSCFD, lalu menurun menjadi 8.048 MMSCFD di tahun 2027. 

Sebagai catatan, kondisi ini hanya dapat terjadi pasokan gas eksisting sesuai dengan perencanaan, dan proyek-proyek hulu gas alam onstream pada waktunya. 

Beberapa proyek gas alam tersebut di antaranya Lapangan Rambong dan Julu Rayeu - Medco Blok A (2018), Lapangan Jambaran dan Tiung Biru - Pertamina EP Cepu (2019), Lapangan Badik dan West Badik - PHE Nunukan (2019), BP LNG Train 3 (2020), Lapangan Gendalo Gandang Gehem - Indonesian Deepwater Development/IDD (2022), Lapangan Abadi - INPEX Masela (2027), dan East Natuna (2027).

Pada prinsipnya, jumlah pasokan di 2018-2027 ini dapat memenuhi kebutuhan gas domestik dan komitmen ekspor. Berdasarkan Skenario I Neraca Gas Indonesia 2018-2027, neraca gas nasional masih akan mengalami surplus di periode 2018-2027. 

Hal tersebut dikarenakan penyerapan gas oleh Badan Usaha sesuai dengan kontrak eksisting, serta tidak diperpanjangnya kontrak-kontrak ekspor gas pipa/LNG untuk jangka panjang. Sebagai informasi, dalam Skenario I Neraca Gas Indonesia 2018-2027, proyeksi demand gas disusun dengan asumsi sebagai berikut:

1. Alokasi untuk lifting minyak sesuai dengan kontrak eksisting,
2. Pertumbuhan kebutuhan gas untuk Program Pemerintah melalui Jargas Rumah Tangga dan SPBG sebesar 5% per tahun,
3. Pertumbuhan kebutuhan gas untuk pabrik pupuk dan petrokimia selama 10 tahun tetap stabil (sesuai perencanaan).
4. Pertumbuhan kebutuhan gas sektor kelistrikan 1,1% sesuai asumsi pertumbuhan sektor industri
5. Pertumbuhan kebutuhan gas untuk sektor industri retail sebesar 1,1%/tahun, dan non-retail sebesar 1.1%/tahun dengan tidak lebih dari kapasitas pabriknya.



Lantas, bagaimana jika ternyata proyeksi demand gas lebih tinggi dari asumsi di atas? Neraca Gas 2018-2027 masih menggunakan dua skenario lagi untuk memroyeksikan demand gas alam dalam negeri yang lebih optimis, yakni Skenario II dan Skenario III.

Produksi Minyak Lesu, Saatnya RI Hijrah ke Gas Foto: neraca gas (Tim Riset CNBC Indonesia)


Skenario II
disusun dengan perbedaan asumsi bahwa pertumbuhan kebutuhan gas sektor kelistrikan adalah 5,5%/tahun (proyeksi RUPTL 2017-2027), serta pertumbuhan kebutuhan sektor industri retail 5,5%/tahun dan non-retail sesuai kapasitasnya.

Kemudian, Skenario III dibuat dengan perbedaan asumsi bahwa pertumbuhan kebutuhan gas sektor kelistrikan adalah 5,5%/tahun (proyeksi RUPTL 2017-2027), serta pertumbuhan kebutuhan sektor industri retail 5,5%/tahun dari nilai kontrak dan non-retail sesuai dengan kapasitas pabrik plus potensial demand.

Menggunakan dua skenario tersebut, neraca gas nasional tidak lagi mengalami surplus di sepanjang 2018-2027. Berdasarkan Skenario II, neraca gas nasional diproyeksikan tetap surplus pada tahun 2018-2024, sedangkan pada tahun 2025-2027 terdapat potensi dimana kebutuhan gas lebih besar daripada pasokan (defisit).

Sementara, berdasarkan Skenario III, neraca gas nasional diproyeksikan mengalami surplus pada tahun 2019-2024, sedangkan pada tahun 2018 dan 2025-2027 terdapat potensi dimana neraca gas nasional mengalami defisit.

Sengsara di Minyak, Saatnya RI Hijrah ke Gas Alam Foto: PGN-MIGAS 4

Meski demikian, kondisi di Skenario II dan Skenario III tersebut belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti blok Masela dan blok East Natuna (kedua blok ini diproyeksikan baru berproduksi pada 2027).

Dengan adanya kebutuhan pasokan tambahan demi menutupi defisit yang terjadi pada tahun 2025 (sesuai dengan kondisi moderat dan optimis pada Skenario II dan Skenario III), maka diperlukan peningkatan kegiatan eksplorasi dalam rangka penemuan cadangan gas baru. Selain itu, mempercepat pengembangan lapangan-lapangan gas yang telah ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Lanjut ke halaman berikutnya >> Setidaknya ada dua alasan utama yang menjadi alasan mengapa RI amat membutuhkan percepatan penggunaan gas alam di tanah air. 

[Gambas:Video CNBC]

Pertama
, kesadaran dunia yang semakin besar terhadap ancaman emisi Gas Rumah Kaca (GRK), yang kemudian melahirkan Paris Agreement pada Conference of Parties ke-21 (COP-21) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Paris. 

Paris Agreement berisi kesepakatan-kesepakatan dari negara anggota, yang pada intinya menyetujui ambang suhu berada di bawah 2 derajat Celsius mengarah dengan cepat ke arah 1,5 derajat Celsius.  Indonesia kemudian menandatangani Paris Agreement tersebut pada tanggal 22 April 2016 yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Paris Agreement ini kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Sebagai komitmen Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pada COP-21 bahwa target penurunan emisi GRK Indonesia adalah sebesar 29 % atas upaya sendiri dan 41 % atas dukungan Internasional (bantuan luar negeri), pada tahun 2030. 

Sengsara di Minyak, Saatnya RI Hijrah ke Gas Alam (PGN CUY)Foto: PGN-MIGAS 5
Dari angka 29% di atas, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi GRK sebesar 314 juta ton karbon dioksida pada 2030, atau pengurangan 11% dari kondisi business as usual (BAU).

Target ini kemudian menjadi dasar bagi Indonesia dalam membuat dokumen Nationally Determined Contribution Indonesia (NDC) yang kemudian diserahkan kepada UNFCCC.  Pengarusutamaan gas alam sebagai sumber energi, yang memiliki level emisi terendah dibandingkan energi fosil lainnya, akan amat mendukung pemerintah dalam mencapai komitmen global tersebut.

Kedua
, defisit perdagangan migas yang semakin parah saja. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada triwulan III-2018 tercatat sebesar US$ 8,85 miliar. Angka ini setara dengan 3,37% dari Produk Domstik Bruto (PDB).

Apabila ditelusuri secara historis, CAD kuartal lalu merupakan yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014. Kala itu, CAD mencapai US$ 9,58 miliar, atau sekitar 4,26% dari PDB.

Sengsara di Minyak, Saatnya RI Hijrah ke Gas Alam (PGN CUY)


Salah satu penyebab melebarnya CAD adalah neraca perdagangan barang yang berbalik arah menjadi defisit sebesar US$ 398 juta pada kuartal III-2018, pasca selalu mencatatkan surplus sejak kuartal III-2014.

Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang adalah defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal III-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar. 

Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia. Sebagai catatan, Tim Riset CNBC Indonesia menelusuri data yang tersedia di situs resmi BI, di mana data yang tersedia paling lama adalah tahun 2005.

Sengsara di Minyak, Saatnya RI Hijrah ke Gas Alam (PGN CUY)

Data transaksi berjalan selalu menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pasalnya, data ini menjadi gambaran aliran valas yang lebih jangka panjang karena datang dari sektor perdagangan. Ketika transaksi berjalan defisit, fundamental ekonomi (khususnya nilai tukar) menjadi kurang kuat karena minim pasokan valas yang berkesinambungan alias sustain.

Impor minyak yang membengkak sudah menjadi pengetahuan umum, namun diam-diam yang jadi masalah lagi buat RI adalah impor LPG. Impor LPG ini sebenarnya bisa berkurang signifikan jika pengembangan gas bumi dan pembangunan infrastruktur seperti gas pipa dikembangkan. Serapan gas pun semakin menarik untuk investor. 



Berkurangnya impor migas (akibat diversifikasi energi primer ke sumber gas alam) akan membuat beban neraca perdagangan barang menjadi berkurang. Artinya, CAD bisa menipis, sehingga dapat berpengaruh positif terhadap kinerja rupiah. Masyarakat RI tidak perlu khawatir lagi melihat rupiah yang melemah dalam seperti tahun ini.

Produksi Minyak Lesu, Saatnya RI Hijrah ke Gas Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki




(TIM RISET CNBC INDONESIA)



(gus) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular