Hingga Oktober, Impor LPG RI Sentuh Rp 36 T

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
30 November 2018 15:04
Impor LPG RI makin lama kian membengkak, sentuh Rp 36 triliun hingga Oktober
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia- Permasalahan impor kembali disinggung oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, kali ini ia menyinggung soal impor LPG yang masih dinilai tinggi.

Dalam gelaran Pertamina Energy Forum 2018, di Jakarta, Kamis (29/11/2018), Jonan menyebutkan, dalam setahun impor LPG kira-kira sebesar US$ 3 miliar atau setara Rp 5 triliun. Hal ini membuat Jonan ingin memandatkan gasifikasi batu bara.



"Impor LPG kita itu setahun kira-kira US$ 3 miliar dolar setara Rp 5 triliun, ini besar. Jadi, kalau perlu mungkin akan kami mandatkan gasifikasi batu bara dengan satu dan lain cara," ujar Jonan.

Memangnya, berapa sih besaran impor LPG Indonesia?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Oktober 2018, tercatat volume impor LPG sebesar 460,03 ribu ton, jumlah ini meningkat dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 412,36 ribu ton.

Sedangkan dari segi nilai, impor LPG pada Oktober 2018 menghabiskan US$ 304,07 juta, naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 239,58 juta.

Adapun, secara kumulatif, sepanjang Januari-Oktober 2018, tercatat volume impor LPG sudah sebesar 4,55 juta ton, naik dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,49 juta ton.

Otomatis, hal ini juga membuat nilai impor LPG secara kumulatif melonjak, dari US$ 2,13 miliar pada Januari-Oktober 2018, menjadi US$ 2,54 miliar.

Hingga Oktober, Impor LPG RI Sentuh Rp 36 T Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto


Sulitkah mengurangi impor LPG?
Jonan menuturkan, memang hal itu sulit. Ia menjelaskan, banyak dari sumur-sumur gas Indonesia disebut gas kering (lean gas), komponen C3-C4 tipis sehingga tidak bisa membuat LPG. Ditambah, impor LPG yang tinggi disebabkan konsumsi LPG Indonesia sebesar 6,7- 6,8 juga ton, dari situ 70% itu impor.

Untuk itu, ia pun mau mengumpulkan perusahaan batu bara untuk bicara tentang percepatan gasifikasi batu bara. Apalagi, menurut Jonan, jika gasifikasi batu bara serius dikerjakan, sebenarnya tidak memakan waktu lama, paling tidak 2-3 tahun.

"Orang bilang ribet memang, mesti ganti sekian komponen tungku tapi ya harus dilakukan. Kalau impor terus ya diketawain sih kita," tutur Jonan.

Soal gasifikasi batu bara ini juga sempat disinggung oleh Kementerian BUMN. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno minta Pertamina lebih giat untuk mengembangkan coal gasification. "Pertamina dorong kerjasamanya jangan sampai hanya di MoU dan HoA saja, kalau bisa akhir tahun ini bangun coal gas di Peranap, Riau," sindirnya. 

PTBA sempat memprediksi untuk kembangkan gasifikasi batu bara ini dibutuhkan kesiapan dana setidaknya US$ 10 miliar. Terakhir, PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk juga menjalin kerja sama dengan Air Products and Chemicals Inc, perusahaan berbasis di Amerika Serikat. Kerja sama itu dalam rangka meningkatkan nilai tambah batu bara Indonesia. 

Kerja sama meliputi pengembangan gasifikasi batubara di Mulut Tambang Batubara Peranap, Riau untuk menjadi dimethylether (DME) dan syntheticnatural gas (SNG).

Dengan kerja sama itu, maka pabrik gasifikasi di Peranap diharapkan dapat mulai beroperasi pada 2022. Kapasitas pabrik yang akan didirikan memiliki kapasitas 400 ribu ton DME per tahun dan 50 mmscfd SNG. 

(gus) Next Article Impor LPG Bikin Subsidi Bengkak, Pemerintah Kebut DME

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular