
Dari Posisi Puncak, Kini Rupiah Terlemah Kedua di Asia

Namun rupiah tidak mampu memanfaatkan angin surga ini. Setidaknya ada dua faktor yang membuat rupiah masih tertinggal.
Pertama adalah harga minyak. Pada pukul 12:15 WIB, harga minyak jenis brent melesat 1,16% sementara light sweet melompat 1,06%.
Damai dagang AS-China menjadi sentimen utama pendongrak harga minyak. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan terangkat. Akibatnya, permintaan terhadap energi pun ikut naik dan mengatrol harga minyak.
Rupiah memang sangat sensitif terhadap harga minyak. Maklum, Indonesia adalah negara net importir migas. Ketika harga minyak naik, maka biaya yang dikeluarkan untuk impor migas akan membengkak.
Hasilnya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) kemungkinan bakal semakin melebar. Saat pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa minim cenderung tekor, maka rupiah tentu bakal sulit menguat.
Sementara faktor kedua yang menghambat rupiah adalah masih berlanjutnya aksi ambil untung (profit taking). Sejak akhir Oktober hingga awal Desember, rupiah memang menguat ugal-ugalan yaitu mencapai 6,93%. Nyaris 7%, bung.
Penguatan yang terlalu tajam ini akhirnya mulai berbalik arah. Sejak 3 Desember hingga kemarin, rupiah melemah 2,47%. Koreksi rupiah belum sampai separuh dari penguatan yang terjadi sebelumnya.
Kombinasi dua faktor tersebut cukup ampuh untuk membuat rupiah yang sempat terbang kembali terjerembab ke tanah. Derita rupiah belum berakhir, setidaknya sampai saat ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
