Menelusuri Performa IHSG di Tahun Politik

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 December 2018 20:47
Menelusuri Performa IHSG di Tahun Politik
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - 2018 terbukti menjadi tahun yang berat bagi pasar saham dalam negeri. Sepanjang tahun ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan pelemahan sebesar 3,84%.

Memasuk tahun 2019, tentu ada harapan baru yang dibawa oleh investor. Pasalnya, terhitung sejak tahun 2001, tak pernah sekalipun IHSG melemah selama 2 tahun berturut-turut.

Namun, perdagangan di tahun depan juga tak akan berlangsung mudah. Faktor luar dan dalam negeri berpotensi menekan laju bursa saham dalam negeri. Dari luar negeri, ada potensi terjadinya resesi di AS. Indikasi awalnya sudah terlihat.

Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).

Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.

Perang dagang antara AS dengan China bisa jadi merupakan pemicu resesi di AS nantinya.

Dari dalam negeri, Indonesia akan menghadapi tahun politik. Secara bersamaan pada 17 April 2019, akan digelar pemilihan umum legislatif dan presiden.

2 pasang calon presiden dan wakil presiden yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno akan berkompetisi dalam memenangkan hati masyarakat Indonesia guna menempati posisi RI-1 dan 2.

Lantas, bagaimana performa IHSG pada tahun politik?

[Gambas:Video CNBC]

Ternyata, pasar saham dan pemilihan presiden merupakan 2 sejoli yang begitu mesra ketika disandingkan bersama. Dalam 3 pemilihan presiden terakhir (2004, 2009, dan 2014), IHSG membukukan imbal hasil yang sangat-sangat impresif.



Pada tahun 2004, IHSG melejit hingga 44,6%. Kala itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla memenangkan pertarungan melawan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.

Pada tahun 2009, IHSG meroket hingga 87%. Pada pertarungan tahun 2009, SBY berhasil mempertahankan posisi RI-1, namun dengan wakil yang berbeda. Ia didampingi oleh Boediono yang sebelumnya menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). SBY-Boediono berhasil mengalahkan 2 pasangan calon yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Beralih ke tahun 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berhasil menempati tahta kepemimpinan tertinggi di Indonesia dengan menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Pada saat itu, IHSG melejit 22,3%.

Sepanjang 2004-2014, IHSG rata-rata memberikan imbal hasil sebesar 26,2% setiap tahunnya. Lantas, imbal hasil pada 3 tahun politik terakhir selalu berada di atas rata-rata, kecuali pada tahun 2014.

[Gambas:Video CNBC]



Banyak yang mengatakan, tahun politik akan membawa berkah bagi perekonomian Indonesia. Hal ini sebenarnya masuk akal saja. Pada tahun politik, belanja yang terkait dengan kegiatan-kegiatan kampanye serta penyelenggaraan pemilu pastilah terkerek naik.

Namun nyatanya, hal ini tak bisa mendongkrak laju perekonomian perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Justru, dari 3 tahun politik terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah pada 2 kesempatan.

Pada tahun 2008, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6,01%. Memasuki tahun 2009 yang merupakan tahun politik, capaiannya turun drastis menjadi hanya 4,63%. Kemudian pada tahun 2013, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,56%. Setahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi melandai ke level 5,01%.

Pada tahun 2009, hal ini memang bisa dimaklumi. Krisis keuangan global yang berpusat di AS mencapai puncaknya pada tahun ini, memicu perekonomian dunia terkontraksi sebesar 0,5%.

Namun pada tahun 2014, perekonomian dunia tumbuh sebesar 3,4%, lebih tinggi dari capaian tahun 2013 yang sebesar 3,3%.

Jadi, pandangan bahwa tahun politik akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi sejatinya tak terbukti sepenuhnya. Bukan karena itu IHSG melesat pada tahun politik.

[Gambas:Video CNBC]



Dalam pasar modal, ada satu musuh besar dari investor, yakni ketidakpastian. Dalam tahun politik, ada ketidakpastian yang besar mengenai arah kebijakan ekonomi Indonesia. Lantas ketika pemilu sudah selesai digelar dan hasil quick count sudah menunjukkan siapa yang jadi pemenang, ada kepastian yang didapatkan investor.

Pada pemilihan presiden tahun 2014, pelaku pasar modal banyak menjagokan Joko Widodo seiring dengan rencananya membangun infrastruktur di berbagai daerah di tanah air.  Pemilihan presiden tahun 2014 digelar pada tanggal 9 Juli.

Bursa saham Indonesia diliburkan kala itu. Pada perdagangan tanggal 10 Juli kala hasil quick count sudah keluar dan memenangkan Jokowi, IHSG melejit sebesar 1,46%.

Pelaku pasar lega karena sudah ada kepastian disana.

Itulah sebabnya IHSG membukukan penguatan yang tinggi pada tahun politik. Pelaku pasar merayakan kepastian yang mereka dapatkan.

Dengan melihat performa IHSG yang selalu positif dalam 3 tahun politik terakhir, pelaku pasar bisa memandang tahun 2019 dengan penuh harapan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular