Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan pertama di pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,25% ke level 6.111,36.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,21 triliun dengan volume sebanyak 11,35 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 329.569 kali.
Pergerakan IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,12%, indeks Shanghai turun 0,82%, indeks Hang Seng turun 1,19%, indeks Strait Times turun 1,14%, dan indeks Kospi turun 1,06%.
Pasar obligasi masih mengindikasikan datangnya resesi di AS. Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).
Hal ini merupakan indikasi awal dari akan datangnya resesi di AS. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Pada perdagangan hari ini, posisinya masih sama yakni sebesar 2 bps.
Kemudian, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun masih berada dalam rentang yang tipis, yakni sebesar -46 bps. Memang belum terjadi inversi, namun posisinya jauh menipis dibandingkan posisi pada awal bulan lalu yang sebesar -82 bps.
Sebagai informasi, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Perang dagang AS-China menjadi salah satu hal yang berpotensi mendatangkan resesi di AS.
Pasca Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Xi Jingping menyepakati gencatan perang dagang kala bertemu di Buenos Aires beberapa waktu lalu, kini hubungan kedua negara menjadi tegang lagi.
Salah satunya penyebabnya adalah karena penangkapan CFO Huawei global Meng Wanzhou di Kanada beberapa hari yang lalu. Penangkapan ini datang seiring dengan perintah dari AS yang sedang melakukan investigasi terkait dengan penggunaan sistem perbankan global oleh Huawei untuk menghindari sanksi AS terhadap Iran. Salah satu bank yang terjebak dalam investigasi ini adalah HSBC.
Pada hari Minggu (9/12/2018) waktu setempat, Kementerian Luar Negeri China memanggil duta besar AS dalam rangka mengajukan keberatan terkait penahanan Meng Wanzhou, sekaligus menuntut pihak AS untuk segera membebaskan sang petinggi Huawei tersebut.
Sebelumnya, kantor berita Xinhua yang mengutip situs resmi Kementerian Luar Negeri China melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri China Le Yucheng juga sudah memanggil duta besar Kanada John McCallum pada hari Sabtu (8/12/2018), dengan urusan yang sama.
Tidak tanggung-tanggung, Le memberitahu Callum bahwa hukuman bagi Meng Wanzhou adalah “pelanggaran luar biasa”. Le juga mengancam akan ada konsekuensi yang berat jika Kanada tidak segera membebaskan Meng Wanzhou.
“Langkah seperti itu (menahan Meng Wanzhou) adalah menghiraukan hukum dan tidak masuk akal, tidak berbudi, dan buruk secara moral, ujar Le seperti dikutip dari CNBC International.
“China secara tegas menuntut pihak Kanada segera membebaskan eksekutif Huawei […] atau menerima konsekuensi berat bahwa pihak Kanada seharusnya bertanggung jawab akan hal ini,” tambah Le.
Pelaku pasar yang sempat berbunga-bunga kini harus menelan pil pahit. Optimisme damai dagang telah berubah menjadi ketakutan atas perang dagang yang tereskalasi. Sektor jasa keuangan (-0,43%) memimpin pelemahan IHSG. Koreksi di sektor ini terjadi seiring dengan aksi jual atas saham-saham bank BUKU 4: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 1%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 0,28%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 0,19%.
Investor asing terpantau gencar melakukan aksi jual atas saham-saham bank BUKU 4. BBCA dilepas hingga Rp 342,5 miliar, terbesar dibandingkan jual bersih atas saham-saham lainnya. Sementara itu, BBRI dan BMRI dilepas masing-masing sebesar Rp 128,6 miliar dan Rp 38,4 miliar.
Secara total, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,05 triliun di pasar saham tanah air.
Pelemahan rupiah membuat saham-saham bank BUKU 4 ditinggalkan investor. Pada perdagangan hari ini, rupiah melemah 0,59% di pasar spot ke level Rp 14.550/dolar AS.
Sejatinya, ada sentimen positif yang bisa menyokong penguatan rupiah yakni memudarnya ekspketasi bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan, sesuai dengan rencananya.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 10 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 1,9% (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini), anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 19,4%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 40%, melejit dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 10,7%. Sementara itu, probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebanyak 1 dan 2 kali adalah masing-masing sebesar 33,6% dan 12,4%.
Lemahnya data tenaga kerja membuat investor meragukan The Fed. Pada hari Jumat (7/12/2018), data resmi versi pemerintah AS menunjukkan bahwa pada bulan November tercipta 155.000 lapangan kerja sektor non-pertanian, di bawah konsensus yang sebesar 198.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sementara itu, rata-rata upah per jam di AS untuk periode yang sama hanya tumbuh sebesar 0,2% MoM, lebih rendah dibandingkan proyeksi yang sebesar 0,3% MoM.
Namun, pasar obligasi AS yang masih mengindikasikan terjadinya resesi membuat dolar AS selaku safe haven menjadi pilihan investor. Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi disana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS seharusnya dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih diburu oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
Aksi jual investor asing atas saham-saham bank BUKU 4 juga dipicu oleh aksi ambil untung. Pada periode 29 Oktober-30 November, indeks sektor jasa keuangan melesat hingga 11,3% dan dalam periode tersebut, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 11,25 triliun di pasar saham Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA