Awal Pekan Kelam, Rupiah Kedua dari Buncit di Asia

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 December 2018 17:18
Awal Pekan Kelam, Rupiah Kedua dari Buncit di Asia
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasat spot hari ini. Dibuka melemah tipis di awal perdagangan, nilai tukar rupiah makin surut hingga akhir perdagangan.

Pada Senin (10/12/2018), US$ 1 ditutup Rp 14.550 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,59% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Membuka perdagangan dengan pelemahan 0,03%, mata uang tanah air kemudian jatuh dengan cepat. Dalam kisaran setengah jam saja, rupiah langsung melemah sebesar 0,35%.

Menuju akhir perdagangan, bukannya membaik, pelemahan rupiah malah semakin menjadi-jadi. Rupiah akhirnya mengakhiri perdagangan hari ini dengan pelemahan 0,59% terhadap dolar AS.

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:



Mayoritas mata uang Benua Kuning memang tidak berdaya di hadapan dolar AS pada hari ini. Namun dengan pelemahan sebesar itu, rupiah menjadi mata uang dengan performa terburuk kedua di Asia pada hari ini. Hanya rupee India yang melemah lebih dalam dibandingkan rupiah. 

Di sisi lain, hanya ada 4 mata uang yang mampu selamat dari zona merah, yakni dolar Hong Kong, yen Jepang, dolar Taiwan, dan baht Thailand. 
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16.20 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Hari ini dolar AS memang sedang berjaya. Setelah sempat tertekan di pagi ini, dolar AS kemudian balas dendam. Hingga pukul 16.02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) menguat hingga 0,1%.

Penguatan mata uang Negeri Paman Sam pun terjadi secara luas, dan sukses menyapu sejumlah mata uang Asia pada hari ini. Tak terkecuali rupiah.

Setidaknya, ada beberapa alasan kenapa dolar AS masih menjadi kesayangan investor pada hari ini. Pertamatanda-tanda resesi yang kian nyata di Negeri Paman Sam. Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).

Hal ini merupakan indikasi awal dari akan datangnya resesi di AS. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun.  Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.

Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.

Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal November, nilainya adalah  82 bps. Per akhir perdagangan Jumat (7/12/2018), nilainya tersisa 45 bps saja. Kemudian pada perdagangan hari ini, nilainya kembali menipis menjadi 44 bps.

Kedua, perkembangan hubungan AS-China yang semakin suram seiring dengan sikap AS yang memberikan perintah kepada otoritas Kanada untuk menangkap CFO Huawei global Meng Wanzhou.

Pada hari Minggu (9/12/2018) waktu setempat, Kementerian Luar Negeri China memanggil duta besar AS dalam rangka mengajukan keberatan terkait penahanan Meng Wanzhou, sekaligus menuntut pihak AS untuk segera membebaskan sang petinggi Huawei tersebut.
Sebelumnya, kantor berita Xinhua yang mengutip situs resmi Kementerian Luar Negeri China melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri China Le Yucheng juga sudah memanggil duta besar Kanada John McCallum pada hari Sabtu (8/12/2018), dengan urusan yang sama.

Tidak tanggung-tanggung, Le memberitahu Callum bahwa hukuman bagi Meng Wanzhou adalah “pelanggaran luar biasa”. Le juga mengancam akan ada konsekuensi yang berat jika Kanada tidak segera membebaskan Meng Wanzhou.

“Langkah seperti itu (menahan Meng Wanzhou) adalah menghiraukan hukum dan tidak masuk akal, tidak berbudi, dan buruk secara moral, ujar Le seperti dikutip dari CNBC International.

“China secara tegas menuntut pihak Kanada segera membebaskan eksekutif Huawei […] atau menerima konsekuensi berat bahwa pihak Kanada seharusnya bertanggung jawab akan hal ini,” tambah Le.

Apabila tanggapan dari pihak Kanada dan AS ternyata tidak memuaskan pihak China, tentu hal ini akan menjadi risiko masif bagi negosiasi dagang yang sedang berlangsung. Kemungkinan terjadinya deadlock akan semakin besar.

Terlebih, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer kemarin kembali mengingatkan bahwa tanggal 1 Maret (90 hari setelah kesepakatan di KTT G20 di Argentina) adalah "tenggat waktu yang menjadi batas akhir (hard deadline)". Jika tidak ada kesepakatan pasca batas waktu itu, bea masuk baru siap diluncurkan.

"Sejauh yang saya tahu, itu merupakan hard deadline. Saat saya berbicara dengan Presiden AS, dia tidak pernah menyebut untuk pergi lebih jauh daripada Maret," ucap Lighthizer pada CBS Show "Face The Nation", seperti dikutip dari CNBC International.

"Aturan mainnya adalah setelah 90 hari (tidak tercapai kesepakatan), bea masuk akan dinaikkan," tambah Lighthizer. 

Ketiga, risiko yang menghantui perceraian Inggris-Uni Eropa (Brexit). Pemungutan suara terkait dengan kesepakatan Brexit yang sudah disepakati dengan Uni Eropa rencananya akan diselenggarakan pada hari Selasa (11/12/2018). Namun, sejauh ini sejumlah Menteri telah memperingatkan Perdana Menteri Theresa May bahwa kesepakatan yang lebih baik diperlukan untuk memenangkan dukungan anggota parlemen.

Perkembangan terbaru, PM May diperkirakan akan menunda pemungutan suara dan menuju ke Brussels untuk menuntut kesepakatan yang lebih baik dari Uni Eropa, surat kabar Sunday Times melaporkan.

Jika lobi-lobi PM May gagal atau parlemen akhirnya menyuarakan penolakan, May bisa saja dilengserkan dari posisinya atau bahkan Inggris bisa meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan sama sekali (No-Deal Brexit). Hal ini kemudian masih menjadi risiko tersendiri bagi pelaku pasar. 

"Saya katakan penolakan (parlemen Inggris) sudah terfaktorkan (price-in) oleh pelaku pasar, dan fokus saat ini adalah seberapa besar marjin kekalahan PM May" kata Fukushima dari Mitsubishi Trust, seperti dikutip dari CNBC International. Ketiga risiko besar di atas lantas investor belum bisa meninggalkan dolar AS yang berstatus sebagai safe haven. Di tengah risiko yang ada seperti data-data ekonomi AS yang mengecewakan atau pernyataan The Federal Reserve/The Fed yang dovish, kenyataanya dolar AS masih menjadi kesayangan investor hari ini.

(NEXT)


Tekanan bagi rupiah juga datang dari pergerakan harga minyak mentah dunia. Pada penutupan perdagangan hari Jumat (7/12/2018), harga minyak light sweet kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.

Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rinciannya
 adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.

Meski hari ini penguatan harga minyak tidak sekencang akhir pekan lalu, namun potensi harga minyak yang melompat jauh membuat pelaku pasar berhati-hati. Sejumlah analis pun masih berpendapat bahwa harga minyak masih akan mendapat sokongan dalam beberapa hari ke depan.

"Kesimpulan utama kita adalah bahwa harga minyak akan mendapat dukungan ke level US$ 70/barel pada 2019," ujar analis Bernstein Energy hari ini, seperti dikutip dari CNBC International.

Melesatnya harga minyak mentah memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.

Kala CAD tertekan, rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat. Pelaku pasar nampaknya sudah mulai ‘menghukum’ rupiah sedari hari ini.


(TIM RISET CNBC INDONESIA)



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular