
Internasional
Bila Benar AS Resesi, Trump Akan Torehkan Rekor
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
10 December 2018 13:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Di luar masalah hukumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tiba-tiba menghadapi kemungkinan besar menjadi presiden pertama yang mengupayakan pemilihan kembali saat resesi ekonomi sejak mantan Presiden Jimmy Carter.
Sejauh ini, penyelidikan oleh penasihat khusus Robert Mueller telah menjadi ancaman tunggal yang semakin mengikis kedudukan sang presiden.
Namun, ketidakpastian dan gejolak yang terjadi di pasar keuangan minggu ini telah menggelapkan harapan untuk dua tahun terakhir masa jabatan Trump.
Pada kuartal keempat 2018, banyak proyeksi sudah melihat pertumbuhan melambat dari 4,2% dan 3,5% yang masing-masing tercatat di kuartal kedua dan ketiga. Pertumbuhan pekerjaan turun jauh dari harapan pada bulan November, menurut data yang dirilis Jumat pagi (7/12/2018).
Untuk 2019 dan seterusnya, mereka memperkirakan pertumbuhan melambat secara progresif karena menurunnya dampak stimulus fiskal dari pemotongan pajak dan kenaikan belanja pemerintah. Banyak yang memprediksi ekonomi terbesar di dunia itu akan jatuh ke dalam resesi pada 2020, seperti dilansir dari CNBC International.
"Dolar yang kuat, pertumbuhan yang lebih lemah di luar negeri, meningkatnya utang perusahaan, pelambatan dalam perumahan dan kerugian yang terus terjadi saat bea impor diterapkan pada masing-masing rantai pasokan global sedang mengambil korbannya," kata Diane Swonk, kepala ekonom Grant Thornton LLP, pekan ini.
"Tidak ada yang tahu pasti jerami mana yang akan mematahkan punggung unta, hanya saja mereka terus menumpuk."
Swonk telah mempercepat prediksi resesi sebelumnya dari paruh kedua tahun 2020 menjadi ke enam bulan pertama.
Di Oktober, Asosiasi Nasional untuk Ekonomi Bisnis melaporkan bahwa dua pertiga dari ahli proyeksi yang disurvei memperkirakan resesi akan terjadi pada akhir tahun pemilihan kembali Trump.
Hal itu akan menjadi peristiwa bersejarah yang langka, dan yang tidak menyenangkan bagi kemungkinan presiden untuk meraih masa jabatan keduanya.
Biasanya, irama politik dan ekonomi yang terjalin telah memastikan terjadinya pertumbuhan ketika presiden yang berkuasa menghadapi pemilihan ulang. Dan sementara ekspansi ekonomi tidak menjamin kemenangan di November, namun kontraksi biasanya mengindikasikan kekalahan.
Dwight Eisenhower, Richard Nixon, Ronald Reagan, dan George W. Bush semuanya mengalami resesi dimulai pada tahun pertama masa jabatan mereka, tetapi berakhir jelang akhir tahun kedua pemerintahan mereka. Masing-masing memenangkan pemilihan kembali.
Untuk Bush dan Eisenhower, resesi kembali hadir pada tahun terakhir masa jabatan kedua mereka, ketika mereka sudah tidak lagi layak untuk mencalonkan diri. Dalam kedua kasus itu, calon dari partai mereka kalah dalam pilpres.
Presiden terakhir yang dibebani resesi saat ia mengejar masa jabatan kedua adalah Carter, pada tahun 1980. Hasilnya tidak bagus.
Ketika tahun dimulai, Carter memamerkan peringkat job approval Gallup yang sebesar 54%. Tetapi resesi yang dimulai pada bulan Januari, dikombinasikan dengan krisis sandera Iran, menyeret angka itu ke bawah 40% dalam waktu lima bulan.
Setelah selamat dari tantangan utama Demokrat oleh Senator Edward Kennedy, Carter kehilangan 44 dari 50 negara bagian. Mereka memilih Reagan pada bulan November. Selama bertahun-tahun sesudahnya, kaum Republikan menggunakan Carter sebagai lambang kelemahan ekonomi.
Demokrat menghabiskan beberapa dekade melakukan hal yang sama dengan presiden terbaru sebelum Carter untuk berkampanye dalam kondisi ekonomi yang lesu. Orang itu adalah Herbert Hoover, yang seluruh masa jabatannya ditelan oleh Great Depression
Pengecualian untuk pola itu adalah Calvin Coolidge, yang mengatasi resesi untuk memenangkan pemilihan kembali pada tahun 1924. George H.W. Bush, yang meninggal pekan lalu, kalah dari Bill Clinton meskipun membuat ekonomi tumbuh lebih dari 4% dalam empat kuartal berturut-turut pada tahun 1992.
Trump mungkin belum menghindari resesi. Melalui kebijakan perdagangan, ia mengendalikan satu tuas utama untuk memengaruhi prospek ekonomi. Kekacauan atas tarif impor yang meningkatkan ketidakpastian bisnis merepresentasikan luka yang ditimbulkannya sendiri.
Selain itu, pertumbuhan bearish hampir tidak seragam. Dalam survei NABE baru minggu ini, tiga perempat dari pemroyeksi mengatakan ketidakpastian lebih rendah dibandingkan risiko penurunan, tetapi kelompok ini memproyeksikan pertumbuhan 2,7% pada 2019.
"Optimisme yang hati-hati," kata ketua survei Gregory Daco dari Oxford Economics. Dia mencatat peluang resesi pada 2020 hanya 35%. Ekonom Harvard, Greg Mankiw, penasihat Gedung Putih top untuk George W. Bush, mematok angka resesi lebih rendah pada 25%.
Namun, sikap publik Trump yang lemah membuat dia tidak memiliki bantalan politik jika ekonomi berubah. Saat ia bersiap untuk temuan Mueller dan House of Representatives yang dikendalikan Demokrat, peringkat penerimaan (approval rate) Gallup-nya yang paling baru adalah hanya 40%.
Tidak mengherankan bahwa penasihat ekonomi Trump, Larry Kudlow, minggu ini menolak untuk mengomentari apa yang disebutnya sebagai "spekulasi" tentang resesi yang makin tinggi.
(prm) Next Article Bukan Bola Kristal, Inverted Yield tak Selalu Ramalkan Resesi
Sejauh ini, penyelidikan oleh penasihat khusus Robert Mueller telah menjadi ancaman tunggal yang semakin mengikis kedudukan sang presiden.
Namun, ketidakpastian dan gejolak yang terjadi di pasar keuangan minggu ini telah menggelapkan harapan untuk dua tahun terakhir masa jabatan Trump.
Untuk 2019 dan seterusnya, mereka memperkirakan pertumbuhan melambat secara progresif karena menurunnya dampak stimulus fiskal dari pemotongan pajak dan kenaikan belanja pemerintah. Banyak yang memprediksi ekonomi terbesar di dunia itu akan jatuh ke dalam resesi pada 2020, seperti dilansir dari CNBC International.
"Dolar yang kuat, pertumbuhan yang lebih lemah di luar negeri, meningkatnya utang perusahaan, pelambatan dalam perumahan dan kerugian yang terus terjadi saat bea impor diterapkan pada masing-masing rantai pasokan global sedang mengambil korbannya," kata Diane Swonk, kepala ekonom Grant Thornton LLP, pekan ini.
"Tidak ada yang tahu pasti jerami mana yang akan mematahkan punggung unta, hanya saja mereka terus menumpuk."
Swonk telah mempercepat prediksi resesi sebelumnya dari paruh kedua tahun 2020 menjadi ke enam bulan pertama.
Di Oktober, Asosiasi Nasional untuk Ekonomi Bisnis melaporkan bahwa dua pertiga dari ahli proyeksi yang disurvei memperkirakan resesi akan terjadi pada akhir tahun pemilihan kembali Trump.
Hal itu akan menjadi peristiwa bersejarah yang langka, dan yang tidak menyenangkan bagi kemungkinan presiden untuk meraih masa jabatan keduanya.
![]() |
Biasanya, irama politik dan ekonomi yang terjalin telah memastikan terjadinya pertumbuhan ketika presiden yang berkuasa menghadapi pemilihan ulang. Dan sementara ekspansi ekonomi tidak menjamin kemenangan di November, namun kontraksi biasanya mengindikasikan kekalahan.
Dwight Eisenhower, Richard Nixon, Ronald Reagan, dan George W. Bush semuanya mengalami resesi dimulai pada tahun pertama masa jabatan mereka, tetapi berakhir jelang akhir tahun kedua pemerintahan mereka. Masing-masing memenangkan pemilihan kembali.
Untuk Bush dan Eisenhower, resesi kembali hadir pada tahun terakhir masa jabatan kedua mereka, ketika mereka sudah tidak lagi layak untuk mencalonkan diri. Dalam kedua kasus itu, calon dari partai mereka kalah dalam pilpres.
Presiden terakhir yang dibebani resesi saat ia mengejar masa jabatan kedua adalah Carter, pada tahun 1980. Hasilnya tidak bagus.
Ketika tahun dimulai, Carter memamerkan peringkat job approval Gallup yang sebesar 54%. Tetapi resesi yang dimulai pada bulan Januari, dikombinasikan dengan krisis sandera Iran, menyeret angka itu ke bawah 40% dalam waktu lima bulan.
Setelah selamat dari tantangan utama Demokrat oleh Senator Edward Kennedy, Carter kehilangan 44 dari 50 negara bagian. Mereka memilih Reagan pada bulan November. Selama bertahun-tahun sesudahnya, kaum Republikan menggunakan Carter sebagai lambang kelemahan ekonomi.
![]() |
Demokrat menghabiskan beberapa dekade melakukan hal yang sama dengan presiden terbaru sebelum Carter untuk berkampanye dalam kondisi ekonomi yang lesu. Orang itu adalah Herbert Hoover, yang seluruh masa jabatannya ditelan oleh Great Depression
Pengecualian untuk pola itu adalah Calvin Coolidge, yang mengatasi resesi untuk memenangkan pemilihan kembali pada tahun 1924. George H.W. Bush, yang meninggal pekan lalu, kalah dari Bill Clinton meskipun membuat ekonomi tumbuh lebih dari 4% dalam empat kuartal berturut-turut pada tahun 1992.
Trump mungkin belum menghindari resesi. Melalui kebijakan perdagangan, ia mengendalikan satu tuas utama untuk memengaruhi prospek ekonomi. Kekacauan atas tarif impor yang meningkatkan ketidakpastian bisnis merepresentasikan luka yang ditimbulkannya sendiri.
Selain itu, pertumbuhan bearish hampir tidak seragam. Dalam survei NABE baru minggu ini, tiga perempat dari pemroyeksi mengatakan ketidakpastian lebih rendah dibandingkan risiko penurunan, tetapi kelompok ini memproyeksikan pertumbuhan 2,7% pada 2019.
"Optimisme yang hati-hati," kata ketua survei Gregory Daco dari Oxford Economics. Dia mencatat peluang resesi pada 2020 hanya 35%. Ekonom Harvard, Greg Mankiw, penasihat Gedung Putih top untuk George W. Bush, mematok angka resesi lebih rendah pada 25%.
Namun, sikap publik Trump yang lemah membuat dia tidak memiliki bantalan politik jika ekonomi berubah. Saat ia bersiap untuk temuan Mueller dan House of Representatives yang dikendalikan Demokrat, peringkat penerimaan (approval rate) Gallup-nya yang paling baru adalah hanya 40%.
Tidak mengherankan bahwa penasihat ekonomi Trump, Larry Kudlow, minggu ini menolak untuk mengomentari apa yang disebutnya sebagai "spekulasi" tentang resesi yang makin tinggi.
(prm) Next Article Bukan Bola Kristal, Inverted Yield tak Selalu Ramalkan Resesi
Most Popular