
Terus Melemah, Harga CPO Dekati Level Terendah Dalam 39 Bulan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 December 2018 13:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini Kamis (6/12/2018), harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kontrak Februari 2019 di Bursa Derivatif Malaysia turun 0,8% ke level MYR 1.979/ton, hingga pukul 11.30 WIB atau penutupan perdagangan sesi 1.
Harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia ini kembali anjlok hari ini, pasca kemarin sebenarnya sudah amblas 1% lebih. Alhasil, harga CPO kembali dekati level terendahnya dalam 3 tahun lebih, yang dicapai pada tanggal 27 November 2018.
Pergerakan harga CPO masih mendapat tekanan dari dari keluarnya peraturan baru terkait pungutan ekspor minyak kelapa sawit di Indonesia, serta ekspektasi meningkatnya stok minyak kelapa sawit di Malaysia.
Selain itu, pelemahan harga semakin diperparah oleh turunnya harga minyak kedelai di Amerika Serikat (AS).
Kemarin, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani akhirnya menerbitkan aturan terbaru yang mengatur tarif pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) atas ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/PMK.05/2018 yang berlaku sejak 4 Desember 2018 kemarin, pemerintah menolkan (US$ 0/ton) seluruh tarif pungutan ekspor apabila harga CPO internasional berada di bawah US$ 570/ton (sekitar MYR 2.365/ton).
Sementara itu, jika harga berada di kisaran US$ 570 - US$ 619/ton (MYR 2.365/ton - MYR 2.570/ton), maka pungutan ekspor CPO menjadi US$ 25/ton. Adapun bila harga internasional sudah kembali normal di atas US$ 619/ton (MYR 2.570/ton), pungutan ekspor CPO kembali ditetapkan US$ 50/ton.
Dengan adanya "pembebasan" pungutan ekspor di RI, produsen CPO di tanah air pun bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan produsen di Malaysia. Alhasil, situasi ini berpotensi membuat ekspor CPO Malaysia akan semakin tertekan.
BACA: Aturan Pungutan Ekspor CPO RI Terbit, Harga CPO Amblas 1%
Padahal, sejatinya ekspor Malaysia sudah cukup lesu. Berdasarkan survei Reuters, stok akhir minyak kelapa sawit Malaysia pada November menyentuh angka 3 juta ton. Angka itu merupakan rekor tertinggi di Malaysia dalam beberapa tahun terakhir.
Penyebabnya adalah ekspor minyak kelapa sawit Malaysia diproyeksikan turun 10,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 1,41 juta ton. Sementara, produksi sebenarnya diestimasikan malah turun 2,1% MtM ke 1,91 juta ton.
Tidak hanya itu, harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CBoT) kontrak berjangka tercatat mengalami penurunan sebesar 0,3% pada siang ini. Sentimen negatif bagi harga komoditas agrikultur unggulan Amerika Serikat (AS) ini datang dari damai dagang AS-China yang ternyata menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai 'pemenang' dalam perundingan di sela-sela KTT G-20. Memang, dalam perundingan itu tak ada kesepakatan formal yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Damai dagang pun bisa sewaktu-waktu kembali berubah menjadi perang dagang yang tereskalasi.
Terlebih, dalam serangkaian cuitan di Twitter pada hari Selasa (4/12/2018), Trump juga sudah mulai menebar ancaman bagi kubu China.
"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!" cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
Segala kebingungan tersebut membuat pasar bertanya-tanya. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi sebelumya terakhir adalah tindakan berlebihan?
Alhasil, bea masuk China bagi komoditas kedelai made in USA bisa jadi masih akan berlaku dalam waktu yang cukup lama. Perdagangan kedelai yang bebas hambatan tarif ternyata masih sulit direalisasikan. Harga minyak kedelai pun tak punya tenaga lagi untuk menguat.
Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai turun, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut melemah.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article 4 Hari Melemah, Harga CPO Mulai Naik Kembali
Harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia ini kembali anjlok hari ini, pasca kemarin sebenarnya sudah amblas 1% lebih. Alhasil, harga CPO kembali dekati level terendahnya dalam 3 tahun lebih, yang dicapai pada tanggal 27 November 2018.
Pergerakan harga CPO masih mendapat tekanan dari dari keluarnya peraturan baru terkait pungutan ekspor minyak kelapa sawit di Indonesia, serta ekspektasi meningkatnya stok minyak kelapa sawit di Malaysia.
Kemarin, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani akhirnya menerbitkan aturan terbaru yang mengatur tarif pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) atas ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/PMK.05/2018 yang berlaku sejak 4 Desember 2018 kemarin, pemerintah menolkan (US$ 0/ton) seluruh tarif pungutan ekspor apabila harga CPO internasional berada di bawah US$ 570/ton (sekitar MYR 2.365/ton).
Sementara itu, jika harga berada di kisaran US$ 570 - US$ 619/ton (MYR 2.365/ton - MYR 2.570/ton), maka pungutan ekspor CPO menjadi US$ 25/ton. Adapun bila harga internasional sudah kembali normal di atas US$ 619/ton (MYR 2.570/ton), pungutan ekspor CPO kembali ditetapkan US$ 50/ton.
Dengan adanya "pembebasan" pungutan ekspor di RI, produsen CPO di tanah air pun bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan produsen di Malaysia. Alhasil, situasi ini berpotensi membuat ekspor CPO Malaysia akan semakin tertekan.
BACA: Aturan Pungutan Ekspor CPO RI Terbit, Harga CPO Amblas 1%
Padahal, sejatinya ekspor Malaysia sudah cukup lesu. Berdasarkan survei Reuters, stok akhir minyak kelapa sawit Malaysia pada November menyentuh angka 3 juta ton. Angka itu merupakan rekor tertinggi di Malaysia dalam beberapa tahun terakhir.
Penyebabnya adalah ekspor minyak kelapa sawit Malaysia diproyeksikan turun 10,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 1,41 juta ton. Sementara, produksi sebenarnya diestimasikan malah turun 2,1% MtM ke 1,91 juta ton.
Tidak hanya itu, harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CBoT) kontrak berjangka tercatat mengalami penurunan sebesar 0,3% pada siang ini. Sentimen negatif bagi harga komoditas agrikultur unggulan Amerika Serikat (AS) ini datang dari damai dagang AS-China yang ternyata menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai 'pemenang' dalam perundingan di sela-sela KTT G-20. Memang, dalam perundingan itu tak ada kesepakatan formal yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Damai dagang pun bisa sewaktu-waktu kembali berubah menjadi perang dagang yang tereskalasi.
Terlebih, dalam serangkaian cuitan di Twitter pada hari Selasa (4/12/2018), Trump juga sudah mulai menebar ancaman bagi kubu China.
"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!" cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
Segala kebingungan tersebut membuat pasar bertanya-tanya. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi sebelumya terakhir adalah tindakan berlebihan?
Alhasil, bea masuk China bagi komoditas kedelai made in USA bisa jadi masih akan berlaku dalam waktu yang cukup lama. Perdagangan kedelai yang bebas hambatan tarif ternyata masih sulit direalisasikan. Harga minyak kedelai pun tak punya tenaga lagi untuk menguat.
Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai turun, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut melemah.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article 4 Hari Melemah, Harga CPO Mulai Naik Kembali
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular