
Rupiah Terpental dari Posisi Elit Mata Uang Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 December 2018 16:58

Namun mengapa penguatan rupiah bisa terkikis? Setidaknya ada dua penyebab.
Pertama adalah, seperti halnya rupee, rupiah sudah menguat cukup tajam. Sejak 30 Oktober sampai akhir pekan lalu, rupiah sudah menguat 6,06%. Angka tersebut tentu sangat menarik bagi sebagian investor untuk melakukan profit taking.
Ini terlihat di pasar saham, di mana investor asing membukukan jual bersih Rp 776,74 miliar. Jadi walau IHSG menguat, investor asing getol melakukan ambil untung sehingga membatasi penguatan rupiah.
Bayangkan ketika investor asing masuk ke pasar saham Indonesia saat rupiah dibanderol Rp 15.200/US$. Kala itu mereka bisa memborong begitu banyak saham. Kini saat rupiah di kisaran Rp 14.200/US$, keuntungan yang didapat tentu berlipat saat saham-saham itu dijual dan uangnya dikonversi kembali ke dolar AS.
Faktor kedua adalah harga minyak yang naik signifikan. Pada pukul 16:42 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 4,53% dan light sweet meroket 5,26%.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir migas. Saat harga minyak naik, maka biaya impor migas akan membengkak sehingga semakin membebani transaksi berjalan (current account).
Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustainable) ketimbang portofolio di pasar keuangan alias hot money. Oleh karena itu, transaksi berjalan akan sangat menentukan nasib nilai tukar sebuah mata uang.
Kala transaksi berjalan Indonesia defisit, dan defisitnya semakin dalam akibat kenaikan biaya impor migas, maka fundamental rupiah tentu akan terancam. Jadi, kenaikan harga minyak menjadi sentimen yang memberatkan laju mata uang Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pertama adalah, seperti halnya rupee, rupiah sudah menguat cukup tajam. Sejak 30 Oktober sampai akhir pekan lalu, rupiah sudah menguat 6,06%. Angka tersebut tentu sangat menarik bagi sebagian investor untuk melakukan profit taking.
Ini terlihat di pasar saham, di mana investor asing membukukan jual bersih Rp 776,74 miliar. Jadi walau IHSG menguat, investor asing getol melakukan ambil untung sehingga membatasi penguatan rupiah.
Faktor kedua adalah harga minyak yang naik signifikan. Pada pukul 16:42 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 4,53% dan light sweet meroket 5,26%.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir migas. Saat harga minyak naik, maka biaya impor migas akan membengkak sehingga semakin membebani transaksi berjalan (current account).
Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustainable) ketimbang portofolio di pasar keuangan alias hot money. Oleh karena itu, transaksi berjalan akan sangat menentukan nasib nilai tukar sebuah mata uang.
Kala transaksi berjalan Indonesia defisit, dan defisitnya semakin dalam akibat kenaikan biaya impor migas, maka fundamental rupiah tentu akan terancam. Jadi, kenaikan harga minyak menjadi sentimen yang memberatkan laju mata uang Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular