
Rupiah Terpental dari Posisi Elit Mata Uang Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 December 2018 16:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di perdagangan pasar spot awal pekan ini. Sepanjang hari ini, rupiah tidak pernah melemah meski penguatannya agak tertahan.
Pada Senin (3/12/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot dihargai Rp 14.235. Rupiah menguat 0,45% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Mengawali perdagangan perdana di bulan penutup 2018, rupiah menguat 0,35% di hadapan greenback. Penguatan rupiah sempat menajam usai rilis data inflasi.
Namun selepas itu, rupiah mulai mengendur. Mata uang Tanah Air memang masih menguat, tetapi apresiasinya menipis.
Berikut perjalanan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang perdagangan hari ini:
Hari ini, mata uang utama Asia mayoritas perkasa di hadapan dolar AS. Hanya tersisa rupee India yang melemah.
Pelemahan rupee tidak lepas dari penguatan yang sudah terjadi cukup lama. Sejak akhir Oktober hingga akhir pekan lalu, mata uang Negeri Bollywood sudah menguat 5,16%. Tidak heran kemudian investor mencairkan keuntungan yang diperoleh karena memang sudah cukup menggiurkan.
Rupiah awalnya mampu masuk jajaran elit mata uang Asia dengan duduk di peringkat ketiga. Namun seperti yang sudah disinggung di atas, penguatan rupiah perlahan tergerus dan gelar itu harus terlepas.
Yuan China keluar sebagai juara dengan penguatan di kisaran 1% di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan menjadi runner-up, disusul baht Thailand di peringkat ketiga. Rupiah sudah terpental dari jajaran elit mata uang Asia.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:19 WIB:
Pertama adalah, seperti halnya rupee, rupiah sudah menguat cukup tajam. Sejak 30 Oktober sampai akhir pekan lalu, rupiah sudah menguat 6,06%. Angka tersebut tentu sangat menarik bagi sebagian investor untuk melakukan profit taking.
Ini terlihat di pasar saham, di mana investor asing membukukan jual bersih Rp 776,74 miliar. Jadi walau IHSG menguat, investor asing getol melakukan ambil untung sehingga membatasi penguatan rupiah.
Bayangkan ketika investor asing masuk ke pasar saham Indonesia saat rupiah dibanderol Rp 15.200/US$. Kala itu mereka bisa memborong begitu banyak saham. Kini saat rupiah di kisaran Rp 14.200/US$, keuntungan yang didapat tentu berlipat saat saham-saham itu dijual dan uangnya dikonversi kembali ke dolar AS.
Faktor kedua adalah harga minyak yang naik signifikan. Pada pukul 16:42 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 4,53% dan light sweet meroket 5,26%.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir migas. Saat harga minyak naik, maka biaya impor migas akan membengkak sehingga semakin membebani transaksi berjalan (current account).
Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustainable) ketimbang portofolio di pasar keuangan alias hot money. Oleh karena itu, transaksi berjalan akan sangat menentukan nasib nilai tukar sebuah mata uang.
Kala transaksi berjalan Indonesia defisit, dan defisitnya semakin dalam akibat kenaikan biaya impor migas, maka fundamental rupiah tentu akan terancam. Jadi, kenaikan harga minyak menjadi sentimen yang memberatkan laju mata uang Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (3/12/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot dihargai Rp 14.235. Rupiah menguat 0,45% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Mengawali perdagangan perdana di bulan penutup 2018, rupiah menguat 0,35% di hadapan greenback. Penguatan rupiah sempat menajam usai rilis data inflasi.
Berikut perjalanan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang perdagangan hari ini:
Hari ini, mata uang utama Asia mayoritas perkasa di hadapan dolar AS. Hanya tersisa rupee India yang melemah.
Pelemahan rupee tidak lepas dari penguatan yang sudah terjadi cukup lama. Sejak akhir Oktober hingga akhir pekan lalu, mata uang Negeri Bollywood sudah menguat 5,16%. Tidak heran kemudian investor mencairkan keuntungan yang diperoleh karena memang sudah cukup menggiurkan.
Rupiah awalnya mampu masuk jajaran elit mata uang Asia dengan duduk di peringkat ketiga. Namun seperti yang sudah disinggung di atas, penguatan rupiah perlahan tergerus dan gelar itu harus terlepas.
Yuan China keluar sebagai juara dengan penguatan di kisaran 1% di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan menjadi runner-up, disusul baht Thailand di peringkat ketiga. Rupiah sudah terpental dari jajaran elit mata uang Asia.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:19 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Mata uang Asia menikmati masa jaya karena dolar AS memang sedang nyungsep. Pada pukul 16:22 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,45%. Pelemahan dolar AS disebabkan oleh tingginya risk appetite pasar. Ya, investor sedang tidak mau bermain aman dan memilih masuk ke instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Penyebabnya adalah tercapainya damai dagang AS-China, setidaknya selama 90 hari. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata.
AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Berita ini tentu sangat positif karena setidaknya selama 1,5 bulan ke depan yang namanya perang dagang AS vs China tidak lagi menjadi sentimen yang membuat pelaku pasar sport jantung. Damai dagang untuk sementara sudah tercipta, dan diharapkan tentu tidak hanya 90 hari tetapi selamanya.
Tanpa sentimen negatif bernama perang dagang, investor lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang. Inilah yang terjadi sehingga Indonesia menerima limpahan arus modal yang membuat rupiah mampu menguat.
Di pasar saham, gairah investor ditunjukkan dengan penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai 1,03%. Sementara di pasar obligasi, arus modal masuk terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sebesar 3,3 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya minat investor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Namun mengapa penguatan rupiah bisa terkikis? Setidaknya ada dua penyebab. Penyebabnya adalah tercapainya damai dagang AS-China, setidaknya selama 90 hari. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata.
AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Berita ini tentu sangat positif karena setidaknya selama 1,5 bulan ke depan yang namanya perang dagang AS vs China tidak lagi menjadi sentimen yang membuat pelaku pasar sport jantung. Damai dagang untuk sementara sudah tercipta, dan diharapkan tentu tidak hanya 90 hari tetapi selamanya.
Tanpa sentimen negatif bernama perang dagang, investor lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang. Inilah yang terjadi sehingga Indonesia menerima limpahan arus modal yang membuat rupiah mampu menguat.
Di pasar saham, gairah investor ditunjukkan dengan penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai 1,03%. Sementara di pasar obligasi, arus modal masuk terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sebesar 3,3 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya minat investor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Pertama adalah, seperti halnya rupee, rupiah sudah menguat cukup tajam. Sejak 30 Oktober sampai akhir pekan lalu, rupiah sudah menguat 6,06%. Angka tersebut tentu sangat menarik bagi sebagian investor untuk melakukan profit taking.
Ini terlihat di pasar saham, di mana investor asing membukukan jual bersih Rp 776,74 miliar. Jadi walau IHSG menguat, investor asing getol melakukan ambil untung sehingga membatasi penguatan rupiah.
Bayangkan ketika investor asing masuk ke pasar saham Indonesia saat rupiah dibanderol Rp 15.200/US$. Kala itu mereka bisa memborong begitu banyak saham. Kini saat rupiah di kisaran Rp 14.200/US$, keuntungan yang didapat tentu berlipat saat saham-saham itu dijual dan uangnya dikonversi kembali ke dolar AS.
Faktor kedua adalah harga minyak yang naik signifikan. Pada pukul 16:42 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 4,53% dan light sweet meroket 5,26%.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir migas. Saat harga minyak naik, maka biaya impor migas akan membengkak sehingga semakin membebani transaksi berjalan (current account).
Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustainable) ketimbang portofolio di pasar keuangan alias hot money. Oleh karena itu, transaksi berjalan akan sangat menentukan nasib nilai tukar sebuah mata uang.
Kala transaksi berjalan Indonesia defisit, dan defisitnya semakin dalam akibat kenaikan biaya impor migas, maka fundamental rupiah tentu akan terancam. Jadi, kenaikan harga minyak menjadi sentimen yang memberatkan laju mata uang Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular