Rupiah Turun Peringkat ke Posisi 4 Klasemen Mata Uang Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 December 2018 14:26
Rupiah Turun Peringkat ke Posisi 4 Klasemen Mata Uang Asia
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memang masih menguat. Namun penguatan rupiah seakan 'dipaku', tidak bisa lebih tajam lagi. 

Pada Senin (3/12/2018) pukul 14:16 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.220. Rupiah menguat 0,56% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Rupiah dibuka menguat 0,35%. Selepas pukul 11:00 WIB, tepatnya seusai pengumuman data inflasi, penguatan rupiah sempat melesat. 


Namun setelah itu rupiah seakan 'dipaku'. Tidak ada pergerakan signifikan seperti pasca-pengumuman data inflasi. 




Apa yang membuat laju rupiah mengendur? Sepertinya ini ada kaitan dengan harga minyak.

Hari ini harga minyak melonjak tajam, melanjutkan pemulihan yang sudah terjadi sejak pekan lalu.
 Pada pukul 13:42 WIB, harga minyak jenis brent meroket 4,66% sementara light sweet melesat 5,1%.

Selama pekan lalu, harga brent 'hanya'
hanya turun tipis 0,15%. Bahkan light sweet mampu naik 1,01%. 

Harga si emas hitam melesat setelah AS-China sepakat untuk mengakhiri perang dagang, setidaknya untuk 90 hari ke depan. Dalam pembicaraan di sela-sela KTT G20 akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping setuju untuk berdamai. 

AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur. 


Perkembangan ini tentu sangat melegakan pasar. Sebab bukan tidak mungkin Washington dan Beijing akan berdamai selamanya jika dalam 90 hari tercapai kesepahaman yang lebih signifikan. 

Apabila ini terjadi, maka perang dagang AS vs China resmi berakhir. Arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global pun siap melesat, karena dua kekuatan terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat. 

Artinya, prospek pertumbuhan ekonomi global yang semula suram bisa cerah kembali. Saat ekonomi menggeliat, maka permintaan energi juga akan meningkat. Hasilnya adalah harga minyak bergerak naik. 

Ditambah lagi kemungkinan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan kembali memangkas produksi pada 2019 dengan tujuan mengatrol harga. Permintaan yang meningkat plus berkurangnya pasokan berarti harga akan melonjak, dan itu yang terjadi hari ini. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir migas. Saat harga minyak naik, maka biaya impor migas akan membengkak sehingga semakin membebani transaksi berjalan (current account). 

Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustainable) ketimbang portofolio di pasar keuangan alias hot money.

Oleh karena itu, transaksi berjalan akan sangat menentukan nasib nilai tukar sebuah mata uang. Kala transaksi berjalan Indonesia defisit, dan defisitnya semakin dalam akibat kenaikan biaya impor migas, maka fundamental rupiah tentu akan terancam. Jadi, kenaikan harga minyak menjadi sentimen yang memberatkan laju mata uang Tanah Air. 

Akibat rupiah yang seakan 'dipaku' ini, mata uang Asia lainnya mampu memperlebar jarak. Yuan China dan won Korea Selatan, misalnya, sudah menguat di kisaran 0,8%. Bahkan penguatan baht Thailand sudah mengungguli rupiah, yang kini turun satu peringkat ke posisi 4 klasemen mata uang Asia.

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 14:08 WIB: 




TIM RISET CNBC INDONESIA 


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular