
Tiga Faktor Ini Diprediksi Bakal Angkat Harga Obligasi
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
03 December 2018 08:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Di awal pekan ini, harga obligasi rupiah pemerintah diprediksi menguat karena tiga faktor utama.
Analis Fixed Income PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Dhian Karyantono dalam risetnya pagi ini (3/12/18) menyatakan ketiga faktor tersebut adalah keputusan damai dagang antara Trump-Xi, inflasi yang terkendali, dan momentum aksi jual beli demi memperbaiki posisi portofolio investasi (window dressing).
"Di tengah proyeksi berlanjutnya tren penurunan tingkat imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN), rekomendasi untuk seri-seri likuid hanya berkisar antara hold atau buy," ujarnya dalam riset.
Menurut dia, seri-seri untuk kategori surat utang negara (SUN) yang cenderung likuid tersebut antaranya FR0063, FR0077, FR0064, FR0078, FR0065, FR0072, dan FR0075.
Sementara itu, lanjutnya, untuk beberapa seri SUN yang masih menawarkan imbal hasil yang menarik meski tidak terlalu likuid diantaranya FR0070, FR0042, FR0058, FR0074, FR0045, FR0068, FR0062, dan FR0076.
Dia juga mengatakan selain seri-seri tersebut, untuk kategori tidak terlalu likuid namun imbal hasil masih tinggi, investor bisa melirik seri Sukuk pemerintah diantaranya PBS014, PBS019, dan, PBS012.
SUN adalah SBN konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Menguatnya harga SUN itu sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Dalam pertemuan G20 di Argentina akhir pekan lalu, Trum-Xi menyepakati penundaan pengenaan kenaikan tarif impor sebesar 25% oleh Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya sebesar 10% terhadap US$ 200 miliar produk-produk China dalam jangka waktu sementara yaitu 90 hari pasca pertemuan.
Selain penundaan tersebut, China juga bersedia untuk meningkatkan impor produk-produk pertanian, industri, dan energi AS guna menekan defisit perdagangan internasional AS terhadap Tiongkok.
Sejauh ini, AS telah menerapkan tarif impor terhadap US$ 253 miliar produk-produk Tiongkok di mana sebelum pertemuan G20 tersebut Trump mengancam akan menaikkan tarif impor US$ 200 miliar produk Tiongkok dari sebelumnya 10% menjadi sebesar 25% pada 1 Januari 2019.
Kekhawatiran investor terhadap gagalnya kesepakatan antar kedua negara juga mendorong minat aset safe haven pada perdagangan Jumat lalu (sebelum pertemuan G20) di mana indeks dolar AS naik ke level 96,90 poin (sebelumnya 96,78 poin) sementara yield US Treasury 10 tahun turun ke level 3,01% (sebelumnya 3,03%).
Dalam riset yang sama, terkendalinya inflasi November 2018 menjadi faktor kedua.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) minggu keempat di bulan ini, Bank Indonesia memprediksi inflasi November 2018 turun ke level 0,18% (MoM) dan 3,14% (YoY) dibandingkan Oktober 2018 sebesar 0,28% (MoM) dan 3,16% (YoY).
Dhian juga memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan bergerak di kisaran Rp 14.277 - Rp 14.357 dengan kecenderungan menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Analis Fixed Income PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Dhian Karyantono dalam risetnya pagi ini (3/12/18) menyatakan ketiga faktor tersebut adalah keputusan damai dagang antara Trump-Xi, inflasi yang terkendali, dan momentum aksi jual beli demi memperbaiki posisi portofolio investasi (window dressing).
"Di tengah proyeksi berlanjutnya tren penurunan tingkat imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN), rekomendasi untuk seri-seri likuid hanya berkisar antara hold atau buy," ujarnya dalam riset.
Dia juga mengatakan selain seri-seri tersebut, untuk kategori tidak terlalu likuid namun imbal hasil masih tinggi, investor bisa melirik seri Sukuk pemerintah diantaranya PBS014, PBS019, dan, PBS012.
SUN adalah SBN konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Menguatnya harga SUN itu sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Dalam pertemuan G20 di Argentina akhir pekan lalu, Trum-Xi menyepakati penundaan pengenaan kenaikan tarif impor sebesar 25% oleh Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya sebesar 10% terhadap US$ 200 miliar produk-produk China dalam jangka waktu sementara yaitu 90 hari pasca pertemuan.
Selain penundaan tersebut, China juga bersedia untuk meningkatkan impor produk-produk pertanian, industri, dan energi AS guna menekan defisit perdagangan internasional AS terhadap Tiongkok.
Sejauh ini, AS telah menerapkan tarif impor terhadap US$ 253 miliar produk-produk Tiongkok di mana sebelum pertemuan G20 tersebut Trump mengancam akan menaikkan tarif impor US$ 200 miliar produk Tiongkok dari sebelumnya 10% menjadi sebesar 25% pada 1 Januari 2019.
Kekhawatiran investor terhadap gagalnya kesepakatan antar kedua negara juga mendorong minat aset safe haven pada perdagangan Jumat lalu (sebelum pertemuan G20) di mana indeks dolar AS naik ke level 96,90 poin (sebelumnya 96,78 poin) sementara yield US Treasury 10 tahun turun ke level 3,01% (sebelumnya 3,03%).
Dalam riset yang sama, terkendalinya inflasi November 2018 menjadi faktor kedua.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) minggu keempat di bulan ini, Bank Indonesia memprediksi inflasi November 2018 turun ke level 0,18% (MoM) dan 3,14% (YoY) dibandingkan Oktober 2018 sebesar 0,28% (MoM) dan 3,16% (YoY).
Dhian juga memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan bergerak di kisaran Rp 14.277 - Rp 14.357 dengan kecenderungan menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Most Popular