Jadi Nomor 1 di Asia, Rupiah Sukses Balas Dendam

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 November 2018 08:22
Jadi Nomor 1 di Asia, Rupiah Sukses Balas Dendam
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat dengan cukup meyakinkan di perdagangan pasar spot pagi ini. Dolar AS pun kembali terdorong ke kisaran Rp 14.400. 

Pada Kamis (29/11/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dibanderol Rp 14.460. Rupiah menguat 0,45% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, penguatan rupiah semakin menjadi. Pada pukul 08:04 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.450 di mana rupiah menguat 0,52%. 

Penguatan ini sudah bisa diperkirakan sebelum pasar spot dibuka. Pasalnya, tanda-tanda apresiasi rupiah sudah terlihat di pasar Non-Deliverable Market (NDF).  


Jika penguatan ini berlanjut hingga penutupan pasar, maka rupiah akan memutus rantai pelemahan yang terjadi dalam 2 hari perdagangan terakhir. Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,1% dan menjadi mata uang terlemah kedua di Asia. 


Pagi ini, mata uang Asia juga mayoritas mampu mengangkangi dolar AS. Namun rupiah eksepsional, karena mampu mencetak apresiasi tertinggi di antara mata uang utama Benua Kuning. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:07 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS terpeleset gara-gara komentar Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed. Dalam sebuah acara di New York, pengganti Janet Yellen itu menyebut suku bunga acuan AS sudah semakin dekat dengan posisi netral. Artinya suku bunga tidak lagi berfungsi untuk mengerem laju ekonomi maupun mendorongnya. 

"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters. 


Pelaku pasar membaca Powell mulai sedikit dovish. Artinya, bukan tidak mungkin The Fed mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan karena dirasa sudah hampir cukup. 

Sikap agak dovish ini juga ditunjukkan dari pernyataan bahwa The Fed akan sangat memperhatikan data, bahkan saat ekonomi tumbuh dengan solid serta angka inflasi dan pengangguran sudah membaik. 

"Kita semua tahu bahwa situasi bisa berbeda dari proyeksi. Kenaikan suku bunga secara bertahap bertujuan untuk menyeimbangkan risiko," lanjut Powell. 

Pernyataan Powell diperkuat dengan rilis data terbaru di Negeri Paman Sam. Pembacaan kedua pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 menghasilkan angka 3,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Tidak berubah dibandingkan pembacaan pertama. 

Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 lebih lambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,2%. Bahkan The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 lebih lambat lagi yaitu 2,5%. 

Data ini menyiratkan bahwa The Fed mungkin tidak perlu lagi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan suku bunga acuan. Sebab ekonomi memang sudah melambat, apa lagi yang mau diperlambat? 

Jika komentar Powell menjadi berkah buat pasar saham di mana Wall Street menjadi menguat tajam, maka lain halnya dengan dolar AS. Pernyataan Powell adalah musibah, karena selama ini kekuatan dolar AS lahir dari tren kenaikan suku bunga acuan. 


Saat suku bunga naik, maka ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga ikut mengerek imbalan investasi khususnya di instrumen berpendapatan tetap (fixed income) sehingga semakin menarik. Dilandasi pencarian cuan di pasar fixed income, permintaan dolar AS pun meningkat. 

Dengan stance Powell yang tidak lagi hawkish, harapan itu sedikit memudar. Dolar AS kehilangan karisma dan mengalami tekanan jual. 

Perkembangan ini dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia yang kemarin di-bully oleh dolar AS. Kini mata uang Benua Kuning punya kesempatan membalas dendam dan ganti memojokkan greenback.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular