
Jadi Nomor 1 di Asia, Rupiah Sukses Balas Dendam
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 November 2018 08:22

Dolar AS terpeleset gara-gara komentar Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed. Dalam sebuah acara di New York, pengganti Janet Yellen itu menyebut suku bunga acuan AS sudah semakin dekat dengan posisi netral. Artinya suku bunga tidak lagi berfungsi untuk mengerem laju ekonomi maupun mendorongnya.
"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters.
Pelaku pasar membaca Powell mulai sedikit dovish. Artinya, bukan tidak mungkin The Fed mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan karena dirasa sudah hampir cukup.
Sikap agak dovish ini juga ditunjukkan dari pernyataan bahwa The Fed akan sangat memperhatikan data, bahkan saat ekonomi tumbuh dengan solid serta angka inflasi dan pengangguran sudah membaik.
"Kita semua tahu bahwa situasi bisa berbeda dari proyeksi. Kenaikan suku bunga secara bertahap bertujuan untuk menyeimbangkan risiko," lanjut Powell.
Pernyataan Powell diperkuat dengan rilis data terbaru di Negeri Paman Sam. Pembacaan kedua pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 menghasilkan angka 3,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Tidak berubah dibandingkan pembacaan pertama.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 lebih lambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,2%. Bahkan The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 lebih lambat lagi yaitu 2,5%.
Data ini menyiratkan bahwa The Fed mungkin tidak perlu lagi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan suku bunga acuan. Sebab ekonomi memang sudah melambat, apa lagi yang mau diperlambat?
Jika komentar Powell menjadi berkah buat pasar saham di mana Wall Street menjadi menguat tajam, maka lain halnya dengan dolar AS. Pernyataan Powell adalah musibah, karena selama ini kekuatan dolar AS lahir dari tren kenaikan suku bunga acuan.
Saat suku bunga naik, maka ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga ikut mengerek imbalan investasi khususnya di instrumen berpendapatan tetap (fixed income) sehingga semakin menarik. Dilandasi pencarian cuan di pasar fixed income, permintaan dolar AS pun meningkat.
Dengan stance Powell yang tidak lagi hawkish, harapan itu sedikit memudar. Dolar AS kehilangan karisma dan mengalami tekanan jual.
Perkembangan ini dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia yang kemarin di-bully oleh dolar AS. Kini mata uang Benua Kuning punya kesempatan membalas dendam dan ganti memojokkan greenback.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters.
Pelaku pasar membaca Powell mulai sedikit dovish. Artinya, bukan tidak mungkin The Fed mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan karena dirasa sudah hampir cukup.
"Kita semua tahu bahwa situasi bisa berbeda dari proyeksi. Kenaikan suku bunga secara bertahap bertujuan untuk menyeimbangkan risiko," lanjut Powell.
Pernyataan Powell diperkuat dengan rilis data terbaru di Negeri Paman Sam. Pembacaan kedua pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 menghasilkan angka 3,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Tidak berubah dibandingkan pembacaan pertama.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 lebih lambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,2%. Bahkan The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 lebih lambat lagi yaitu 2,5%.
Data ini menyiratkan bahwa The Fed mungkin tidak perlu lagi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan suku bunga acuan. Sebab ekonomi memang sudah melambat, apa lagi yang mau diperlambat?
Jika komentar Powell menjadi berkah buat pasar saham di mana Wall Street menjadi menguat tajam, maka lain halnya dengan dolar AS. Pernyataan Powell adalah musibah, karena selama ini kekuatan dolar AS lahir dari tren kenaikan suku bunga acuan.
Saat suku bunga naik, maka ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga ikut mengerek imbalan investasi khususnya di instrumen berpendapatan tetap (fixed income) sehingga semakin menarik. Dilandasi pencarian cuan di pasar fixed income, permintaan dolar AS pun meningkat.
Dengan stance Powell yang tidak lagi hawkish, harapan itu sedikit memudar. Dolar AS kehilangan karisma dan mengalami tekanan jual.
Perkembangan ini dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia yang kemarin di-bully oleh dolar AS. Kini mata uang Benua Kuning punya kesempatan membalas dendam dan ganti memojokkan greenback.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular