
Harga Batu Bara Rebound, Tapi Risiko Besar Masih Membayangi
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
28 November 2018 11:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan menutup perdagangan hari Selasa (27/11/2018) dengan menguat 0,15% ke US$ 101,55/ Metrik Ton (MT).
Dengan pergerakan itu, harga batu bara mampu rebound pasca terkoreksi selama 3 hari berturut-turut. Pada awal pekan lalu, harga si batu hitam bahkan sempat terperosok ke level terendahnya nyaris dalam 7 bulan terakhir, atau sejak awal Mei 2018.
BACA: Turun 3 Hari Beruntun, Harga Batu Bara Terendah dalam 7 Bulan
Tidak ada sentimen positif yang sebenarnya mampu menyokong harga batu bara kemarin. Oleh karena itu, pulihnya harga batu bara nampaknya lebih disebabkan oleh technical rebound. Harga batu bara memang sudah melemah nyaris 4% di sepanjang bulan November 2018.
Akibat harganya yang sudah cenderung murah, pelaku pasar pun cenderung melakukan aksi beli pada komoditas ini.
Di sisi lain, sejumlah sentimen negatif justru masih menjadi pemberat harga komoditas ini.
Pertama, meski sudah memasuki musim dingin, tingkat konsumsi batu bara masih cukup lemah di Negeri Tirai Bambu. Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi.
Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 7 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,51% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,51 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 23 November 2018.
Lemahnya konsumsi di Negeri Tirai Bambu juga nampaknya tidak lepas dari musim dingin yang memang lebih hangat dari biasanya. Sebelumnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang saat ini melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya.
Saat musim dingin ternyata tidak seekstrim yang diperkirakan, kebutuhan listrik untuk pemanas ruangan pun akan lemah. Alhasil, konsumsi batu bara di pembangkit listrik pun tidak akan sekencang yang diperkirakan sebelumnya.
Kedua, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017.
Mengutip Bloomberg News, komisi perencanaan pembangunan China (National Development and Reform Comission/NDRC) telah memerintahkan sejumlah pelabuhan utama untuk menghentikan izin impor batu bara, mengutip sumber yang familiar dengan isu ini.
Hanya pembangkit listrik yang amat membutuhkan batu bara (untuk memastikan pasokan listrik di musim dingin), yang dapat mengajukan keringanan ke NDRC.
Kebijakan ini dilakukan pemerintah China dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini. Selain itu, kondisi stok yang berlebih di China juga menjadi alasan pemerintah untuk membatasi impor batu bara.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun sebesar 25-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya, mengutip Reuters. Padahal, pada periode Januari-Oktober 2018, volume impor China masih tercatat naik 11% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Penurunan permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Dengan pergerakan itu, harga batu bara mampu rebound pasca terkoreksi selama 3 hari berturut-turut. Pada awal pekan lalu, harga si batu hitam bahkan sempat terperosok ke level terendahnya nyaris dalam 7 bulan terakhir, atau sejak awal Mei 2018.
BACA: Turun 3 Hari Beruntun, Harga Batu Bara Terendah dalam 7 Bulan
Tidak ada sentimen positif yang sebenarnya mampu menyokong harga batu bara kemarin. Oleh karena itu, pulihnya harga batu bara nampaknya lebih disebabkan oleh technical rebound. Harga batu bara memang sudah melemah nyaris 4% di sepanjang bulan November 2018.
Akibat harganya yang sudah cenderung murah, pelaku pasar pun cenderung melakukan aksi beli pada komoditas ini.
Di sisi lain, sejumlah sentimen negatif justru masih menjadi pemberat harga komoditas ini.
Pertama, meski sudah memasuki musim dingin, tingkat konsumsi batu bara masih cukup lemah di Negeri Tirai Bambu. Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi.
Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 7 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,51% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,51 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 23 November 2018.
Lemahnya konsumsi di Negeri Tirai Bambu juga nampaknya tidak lepas dari musim dingin yang memang lebih hangat dari biasanya. Sebelumnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang saat ini melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya.
Saat musim dingin ternyata tidak seekstrim yang diperkirakan, kebutuhan listrik untuk pemanas ruangan pun akan lemah. Alhasil, konsumsi batu bara di pembangkit listrik pun tidak akan sekencang yang diperkirakan sebelumnya.
Kedua, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017.
Mengutip Bloomberg News, komisi perencanaan pembangunan China (National Development and Reform Comission/NDRC) telah memerintahkan sejumlah pelabuhan utama untuk menghentikan izin impor batu bara, mengutip sumber yang familiar dengan isu ini.
Hanya pembangkit listrik yang amat membutuhkan batu bara (untuk memastikan pasokan listrik di musim dingin), yang dapat mengajukan keringanan ke NDRC.
Kebijakan ini dilakukan pemerintah China dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini. Selain itu, kondisi stok yang berlebih di China juga menjadi alasan pemerintah untuk membatasi impor batu bara.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun sebesar 25-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya, mengutip Reuters. Padahal, pada periode Januari-Oktober 2018, volume impor China masih tercatat naik 11% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Penurunan permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular