Harga CPO Merosot 20% Hingga Muncul Risiko PHK, Ini Sebabnya!
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 November 2018 11:49

Ketiga, berkecamuknya perang dagang AS-China. Isu ini menjadi salah satu topik yang paling ramai dibicarakan pada tahun ini. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Produk agrikultur AS yang paling terdampak dari tarif balasan Negeri Panda adalah minyak kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.
Minyak kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga minyak kedelai.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga minyak kedelai kontrak acuan di Chicago Board of Trade (CBoT) anjlok hingga 17,35% di sepanjang tahun 2018 (hingga perdagangan tanggal 20 November 2018). Harga komoditas ini bahkan sempat menyentuh titik terendahnya dalam 3 tahun pada pertengahan September lalu.
Seperti diketahui, harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia. Sempat menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir pada awal Oktober 2018, harga sang emas hitam justru dibanting habis-habisan setelahnya. Hanya dalam 1,5 bulan, harga minyak amblas di kisaran 30%.
Harga minyak jenis light sweet yang menjadi acuan di AS sempat melemah 12 hari berturut-turut, yang merupakan reli pelemahan harian terpanjang dalam sejarah. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (20/11/2018) kemarin, harganya bahkan sempat menyentuh level terendah nyaris dalam 1 tahun terakhir.
Ketidakseimbangan pasokan dan permintaan di pasar global menjadi faktor utama kejatuhan harga minyak mentah. Permintaan diekspektasikan melemah akibat perlambatan ekonomi dunia, sementara sejumlah negara produsen utama (seperti AS dan Rusia) justru memberikan sinyal adanya peningkatan produksi.
Teranyar, dalam laporan edisi November 2018, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan sebesar 1,36 juta barel/hari.
"Meski pasar minyak dunia telah lebih seimbang, tetapi pertumbuhan pasokan mengindikasikan volume yang lebih tinggi melebihi permintaan yang berujung pada ekses yang membesar. Kemudian revisi ke bawah dari pertumbuhan ekonomi global menyebabkan tekanan terhadap permintaan minyak dalam beberapa bulan terakhir," sebut laporan OPEC yang menyinggung risiko terhadap harga minyak.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO. (BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/ray)
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Minyak kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga minyak kedelai.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga minyak kedelai kontrak acuan di Chicago Board of Trade (CBoT) anjlok hingga 17,35% di sepanjang tahun 2018 (hingga perdagangan tanggal 20 November 2018). Harga komoditas ini bahkan sempat menyentuh titik terendahnya dalam 3 tahun pada pertengahan September lalu.
Seperti diketahui, harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia. Sempat menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir pada awal Oktober 2018, harga sang emas hitam justru dibanting habis-habisan setelahnya. Hanya dalam 1,5 bulan, harga minyak amblas di kisaran 30%.
Harga minyak jenis light sweet yang menjadi acuan di AS sempat melemah 12 hari berturut-turut, yang merupakan reli pelemahan harian terpanjang dalam sejarah. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (20/11/2018) kemarin, harganya bahkan sempat menyentuh level terendah nyaris dalam 1 tahun terakhir.
Ketidakseimbangan pasokan dan permintaan di pasar global menjadi faktor utama kejatuhan harga minyak mentah. Permintaan diekspektasikan melemah akibat perlambatan ekonomi dunia, sementara sejumlah negara produsen utama (seperti AS dan Rusia) justru memberikan sinyal adanya peningkatan produksi.
Teranyar, dalam laporan edisi November 2018, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan sebesar 1,36 juta barel/hari.
"Meski pasar minyak dunia telah lebih seimbang, tetapi pertumbuhan pasokan mengindikasikan volume yang lebih tinggi melebihi permintaan yang berujung pada ekses yang membesar. Kemudian revisi ke bawah dari pertumbuhan ekonomi global menyebabkan tekanan terhadap permintaan minyak dalam beberapa bulan terakhir," sebut laporan OPEC yang menyinggung risiko terhadap harga minyak.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO. (BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/ray)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular