Harga CPO Merosot 20% Hingga Muncul Risiko PHK, Ini Sebabnya!
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 November 2018 11:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 nampaknya menjadi tahun yang suram bagi komoditas minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Bagaimana tidak, harga CPO kontrak acuan di Bursa Derivatif Malaysia sudah amblas nyaris 20% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD).
Sempat menembus level MYR 2.600/ton pada awal Januari 2018, harga CPO kini harus susah payah bertahan di atas level MYR 2.000/ton. Pekan lalu, harga CPO malah sempat tergelincir ke bawah level MYR 2.000/ton, untuk pertama kalinya sejak awal September 2015.
Sejak awal tahun, berbagai sentimen negatif memang menghantam harga CPO secara bertubi-tubi. Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasikannya satu per satu dalam tulisan ini.
Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga dikerek naik dari 40% menjadi 54%.
Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (month-to-month/MtM). Catatan bulan Mei 2018 malah lebih parah lagi. Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MtM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Kedua, Eropa tak ingin hitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Sayangnya, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sempat menembus level MYR 2.600/ton pada awal Januari 2018, harga CPO kini harus susah payah bertahan di atas level MYR 2.000/ton. Pekan lalu, harga CPO malah sempat tergelincir ke bawah level MYR 2.000/ton, untuk pertama kalinya sejak awal September 2015.
Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga dikerek naik dari 40% menjadi 54%.
Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (month-to-month/MtM). Catatan bulan Mei 2018 malah lebih parah lagi. Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MtM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Kedua, Eropa tak ingin hitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Sayangnya, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular